Menularkan Energi Parenting di Desa

Pagi jelang siang sekumpulan ibu-ibu dan beberapa anggota Tim Penggerak PKK Desa Bontodaeng, Kec. Uluere Bantaeng, diketuai oleh Jusnaeni (ibu desa), duduk berbanjar rapi di atas kursi-kursi plastik. Ada beberapa yang membawa anak kecil. Mereka dengan sabar menunggu acara dimulai.

Sebagai pengisi materi pada hari itu, senang rasanya menyaksikan pemandangan tersebut. Ibu-ibu yang datang tampak antusias. Meskipun disampaikan jika peserta banyak yang telat datang karena harus ke pasar dulu sebelumnya. Tak lama kemudian, protokol pun memulai acara, berikut rangkaiannya.

Perhelatan kelas parenting ini, dibuka langsung oleh Kepala Desa Bontodaeng, Abdul Rahman. Sembari menanti giliran saya berbicara, dari tempat saya duduk, diam-diam saya mengamati satu per satu wajah ibu-ibu yang hadir.

Terbersit rasa haru campur apresiasi mendalam atas segala antusiasme yang ditunjukkan oleh para peserta. Mereka para orangtua yang mau belajar dan berusaha mengetahui kiat-kiat terbaik dalam mengasuh anak-anaknya. Semua ini menunjukkan betapa persiapan diri dan pengetahuan sebelum menjadi orangtua sangat minim dilakukan. Bukan hanya mereka yang tinggal di pelosok desa, bahkan di kota-kota pun situasinya kurang lebih sama.

Saya mencoba menyelami alam pikiran para orangtua ini. Pastinya banyak kebingungan yang mereka dapati setelah masuk ke sebuah lingkungan kehidupan baru. Dituntut untuk membentuk keluarga sendiri tanpa sesiapa yang membantunya. Anak-anak yang tadinya hidup tanpa tanggung jawab terhadap orang lain, tiba-tiba berubah peran. Harus menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu baru dengan segala keasingan yang ditemui. Mulai perilaku  pasangan, sikap mertua, saudara-saudara ipar, keluarga besar pasangan, belum lagi jika anak-anak mereka lahir nantinya. Benar-benar sebuah lingkungan baru dengan keterasingan antar pelaku-pelaku di dalamnya.

Perenungan saya terjeda saat protokol mempersilakan pemandu lagu maju memimpin seluruh hadirin untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berturut-turut acara pun dibacakan satu per satu. Bapak kepala desa menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan ini, serta berharap wadah ini dapat menjadi solusi untuk warga desa mampu menyelesaikan segala persoalan anak-anaknya. Mengingat orangtua adalah orang-orang terdekat yang dimiliki seorang anak, bukan nenek, kakek, om, tante, atau anggota keluarga jauh lainnya. Maka sangatlah penting untuk membangun dan menjalin kedekatan dengan anak-anak kita.

Ketika tiba giliran berbicara, saya memulainya dengan melontarkan pertanyaan ke hadirin. Apakah menjadi orangtua itu membahagiakan ataukah menyusahkan? Sebagian besar menjawab, membahagiakan. Walaupun ada juga yang menjawab keduanya, ada susahnya, dan ada senangnya. Mungkin ada yang memilih jawaban menyusahkan, tetapi takut berbeda dengan jawaban kebanyakan peserta yang hadir.

Tidak bermaksud menakut-nakuti, melainkan ingin agar para calon orangtua bisa lebih mempersiapkan diri dengan segala perangkat yang dibutuhkan. Seperti kesiapan mental dan psikologis, kesiapan ekonomi, kesiapan pengetahuan pengasuhan, dan berbagai kesiapan lainnya. Karena betapa banyak mereka yang menjadi orangtua secara alamiah. Menikah dianggapnya sebagai proses natural tanpa perlu persiapan sama sekali.

Yang umum orang lakukan adalah mempersiapkan seremonial belaka. Bagaimana merancang pesta, siapa saja yang akan diundang, bagaimana konsep pestanya, hiburannya, gedungnya, makanannya, dsbnya. Persiapan pernikahan nyaris tidak pernah tersentuh untuk dibahas serius dan mendalam. Adapun nasihat diberikan pihak KUA dan ceramah ustaz saat pernikahan, hanya membahas kulit arinya saja.  Kita tidak dapat mengandalkan wejangan singkat tersebut sebagai sebuah bekal. Materi yang dibutuhkan masih sangat jauh dari harapan.

Olehnya itu tidaklah mengherankan jika kemeriahan pesta tak berbanding lurus dengan awetnya usia pernikahan. Entah karena ketidakcocokan antarpasangan yang baru terlihat nyata saat sudah berstatus suami-istri. Karakter-karakter asli mulai tampak ke permukaan. Tak perlu lagi ditutup-tutupi, toh sudah sah jadi milik satu dengan yang lainnya. Munculnya kebiasaan-kebiasaan buruk yang dianggap mengganggu, dan tidak ada ruang untuk saling bertoleransi. Campur tangan keluarga besar yang bukannya membantu menyelesaikan masalah, malah makin menambah pelik permasalahan. Masih banyak lagi penyebab lainnya, yang mungkin saja sepele, tetapi jika tidak tahu jalan keluarnya, justru akan semakin besar dan menggurita.

Hadirnya kelas parenting sebagaimana yang diluncurkan di Desa Bonto Daeng ini diharapkan dapat membantu masyarakat setempat dalam memecahkan persoalan-persoalan kesehariannya. Yang mana kasus sehari-hari umumnya lebih didominasi oleh masalah pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah, perilaku remaja yang banyak menyimpang, atau hal-hal yang berkaitan dengan media sosial, yang sangat besar pengaruhnya pada kualitas hidup kita saat ini. Baik pada mereka yang bermukim di kota-kota ataupun warga desa yang tinggal jauh dari kota provinsi. Sudah tidak ada lagi bedanya, tidak ada lagi sekat yang menghalangi lajunya informasi sampai ke tangan mereka walau tinggalnya jauh dari kota.

Istilah parenting, sebuah kata yang sudah sangat menjamur kita dengar penggunaannya. Ia disematkan pada setiap aktivitas yang bertopik pengasuhan. Karena arti kata itu sendiri memang berarti pengasuhan (Inggris, red). Semisal seminar parenting, diskusi parenting, komunitas parenting, atau kelas parenting. Saking menjamurnya kegitatan ini, ditopang pula oleh teknologi informasi yang sudah sangat mudah diperoleh, ia mudah ditemui di pelosok-pelosok.

Kelas ini nantinya akan berfungsi pula sebagai wadah bagi para pesertanya untuk saling dukung lewat pertemuan rutin sesuai kesepakatan bersama. Berbagi pengalaman pengasuhan satu dengan lainnya, atau mengeksplorasi sebuah teori, sejauh mana efektivitasnya dalam meredam sebuah perilaku yang tidak diinginkan. Jika sekiranya mengalami kendala di lapangan, disarankan untuk menghubungi ahlinya yang mungkin bisa membantu dalam pemecahannya.

Dengan adanya pertemuan rutin kelas, hal ini dapat mempertahankan animo para orangtua yang menjadi pesertanya. Mereka akan tetap bersemangat walaupun masalah tampaknya tak ada habis-habisnya. Minimal dengan berkomunitas atau memiliki wadah untuk saling bertatap muka, para orangtua ini akan lebih mampu bertahan menghadapi segala tantangan hidup, ketimbang jika harus berjalan sendiri-sendiri.




Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *