Hari masih pagi, ketika saya sedang duduk di beranda rumah di kampung, sembari berbincang lewat telepon dengan seorang teman di Jepara, tempat kelahiran Kartini. Hujan baru saja reda, cuaca sangat dingin, lalu sesekali saya meneguk teh hangat yang baru saja kuseduh.
Kami sedang berbincang tentang perempuan, pendidikan, dan tradisi. Tiba-tiba saja ia mengirim pesan gambar via WhatsApp. Rupanya secarik kertas berisi kutipan dari surat Kartini (1879–1904) kepada sahabatnya, Abendanon (1870–1948). Tertulis dalam kutipannya: “Habis gelap terbitlah terang. Aku ingin perempuan menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menjadi istri atau ibu.”
Saya membacanya, lalu terdiam lama. Kalimat itu begitu ringkas, namun membuka lubang-lubang panjang dalam pikiran saya. Kartini bukan sekadar sosok sejarah. Tetapi ia adalah suara dalam diri saya yang sejak lama bergema samar, sering tenggelam oleh kebisingan dogma dan batas-batas yang diwariskan. Nama itu selalu datang dan pergi, seperti udara yang pelan namun pasti menyentuh ruang-ruang batin saya.
Kartini adalah anak dari istri kedua. Pada saat itu disebut selir. Posisi ini membuatnya tidak sepenuhnya di pusat, tetapi juga tidak sepenuhnya di pinggir. Dalam posisi itulah ia tumbuh, mengalami dunia priyayi sekaligus melihat jarak antara kemuliaan dan ketimpangan. Goenawan Mohamad (1941) membaca posisi ini sebagai ruang kontemplatif bagi Kartini. Ia menulis, “Kartini adalah orang yang ‘melawan’ karena ia tahu apa artinya ‘taat’ dan ia tahu karena ia dekat dengan pusat kuasa, tetapi sekaligus agak tersisih darinya” (Catatan Pinggir, 2005). Tetapi dari jarak inilah kemudian, Kartini menumbuhkan keberanian spiritual, yaitu menggugat tanpa kehilangan cinta, lalu bertanya tanpa kehilangan iman.
Persis dalam ruang ambang inilah, Bell Hooks (1952-2021) menemukan denyut transformatif perempuan. Dalam pandangannya, spiritualitas tumbuh bukan dari kuasa yang mapan, melainkan dari luka, keterpinggiran, dan keheningan yang dipelihara menjadi kekuatan. Kartini menulis surat seperti menyalakan lilin di tengah gelap patriarki dan kolonialisme. Ia mengalami penderitaan, namun juga memilih menyulam makna darinya. Dalam istilah Hooks, “Love is an action, never simply a feeling.” Maka cinta Kartini bisa dimaknai sebagai keberanian, mengasihi bangsanya, bahkan saat bangsanya belum tentu bisa membalas.
Saya pribadi, tidak ingin mengkultuskan Kartini, namun juga tidak ingin mereduksinya menjadi sebatas upacara tahunan. Yang saya cari adalah Kartini sebagai perempuan yang sedang mencari Tuhan di tengah sekat-sekat tradisi. Bukan Tuhan yang dipaksa hadir dalam simbol, tetapi Tuhan yang menjadi terang setelah gelap, yang ditemukan setelah perlawanan batin, kesunyian, dan kelelahan eksistensial.
Saya teringat saat pertama kali membaca kumpulan surat Kartini di usia dua puluhan. Saat itu saya belum sepenuhnya memahami kegelisahannya. Saya hanya menangkap semangat modernitas, cita-cita pendidikan, dan kemarahan terhadap struktur sosial yang menindas perempuan. Namun, seiring bertambahnya usia dan pengalaman, saya mulai membaca Kartini dengan cara yang berbeda. Saya menemukannya bukan hanya perempuan yang ingin sekolah. Lebih dari itu, ia adalah ruh yang sedang mencari makna tentang hidup, tentang cinta, dan tentang Tuhan.
Bagi saya, pernyataan Kartini, “Habis gelap, terbitlah terang” bukan semata tentang emansipasi perempuan. Bahwa gelap itu bukan hanya ketiadaan pendidikan atau ketiadaan kebebasan, namun juga gelap spiritual yang datang dari dogma yang kehilangan nurani. Gelap yang datang saat seseorang ingin dekat dengan Tuhan, tetapi disuruh diam karena ia seorang perempuan. Gelap yang membungkam rasa ingin tahu, mengganti pencarian dengan kepatuhan, dan mengganti iman dengan ketakutan.
Sedangkan terang, seperti kata Jalaluddin Rumi (1207–1273), “datang dari celah luka.” Luka karena lahir sebagai perempuan di tengah tradisi yang ketat, luka karena ingin belajar namun dilarang, luka karena ingin mencintai Tuhan namun dicegah oleh tafsir yang menyempitkan-Nya. Dan di tengah luka itulah kemudian Kartini bertumbuh untuk menulis, mengirim surat, mencintai kata-kata, dan mencari terang.
Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang ulama perempuan yang sekaligus guru bagi saya. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Kartini adalah sufi yang tidak dikenal. Ia tidak memakai jubah, tidak mengutip Ibn Arabi (1165–1240) atau al-Ghazali (1058–1111), tetapi ia melakukan apa yang disebut suluk, yaitu berjalan dalam gelap untuk mencari cahaya. Ia tidak menetap dalam kepastian, tetapi hidup dalam pertanyaan.
Dalam konteks ini, saya melihat spiritualitas Kartini lebih dekat pada jalan batin, pada keheningan, pada pencarian yang tak henti. Ia bukan teolog, tetapi ia lebih jujur dalam pertanyaannya tentang Tuhan dibanding banyak tokoh yang hafal kitab sekalipun. Ia mempertanyakan keadilan Tuhan di tengah struktur sosial yang tidak adil. Ia bertanya mengapa perempuan harus diam, mengapa nasib ditentukan oleh kelahiran, dan mengapa agama lebih banyak digunakan untuk menakut-nakuti ketimbang menguatkan jiwa.
Spiritualitas Kartini mengingatkan saya pada pemikiran Karen Armstrong (1944), yang menyebutkan bahwa pengalaman religius sejati tidak lahir dari doktrin, tetapi dari penderitaan yang dilewati dengan kesadaran. Kartini hidup dalam penderitaan sosial dan spiritual, namun ia tidak tenggelam. Ia memeluk gelapnya hidupnya, lalu menuliskannya, dan menjadikannya cahaya bagi generasi setelahnya.
Masih marak dalam tradisi lokal kita, perempuan dianggap sebagai sumber kekacauan jika terlalu bebas berpikir. Mereka diminta untuk taat bukan karena cinta, tetapi karena takut dosa. Bahkan dalam tafsir yang konservatif, suara perempuan pun dianggap sebagai aurat. Coba bayangkan, suara! Bagaimana mungkin suara, yang bisa mengantarkan kita pada cinta-kasih dan makna, justru dianggap najis?
Saya pribadi melihat Kartini sebagai cermin yang memantulkan wajah-wajah kita hari ini. Kita sering kali mengaku sudah merdeka, namun masih menindas perempuan dalam bentuk-bentuk baru seperti label, tuntutan estetika, atau bahkan tafsir-tafsir keagamaan yang kaku. Kita berbicara tentang Tuhan, namun menolak orang yang mencari Tuhan dengan jalan berbeda. Kita menyebut diri sudah progresif, namun merasa tidak nyaman dengan perempuan yang terlalu berani berbicara.
Maka sebenarnya, gelap yang dimaksud Kartini masih belum hilang sepenuhnya. Mungkin hanya berganti bentuk. Kadang ia hadir sebagai tuntutan sosial agar perempuan harus selalu terlihat sempurna. Kadang ia muncul sebagai rasa bersalah karena memilih karier daripada menikah. Atau dalam bentuk yang lebih halus, yaitu perempuan yang merasa harus minta maaf karena berpikir terlalu keras, karena tidak cukup manis, atau karena tidak memenuhi ekspektasi tradisi.
Namun demikian, terang juga masih terus hadir. Saya menemukannya dalam wajah para perempuan yang mengajar di pelosok, yang menulis puisi di tengah kesibukan rumah tangga, yang bertanya tentang Tuhan dengan cara mereka sendiri. Saya menemukannya dalam ruang-ruang diskusi di mana perempuan berbagi kisah luka tanpa takut dihakimi. Saya menemukannya dalam suara-suara yang tak lagi takut dianggap bid’ah, karena mereka tahu bahwa Tuhan lebih luas daripada prasangka manusia.
Dalam permenungan yang lebih dalam, saya menyadari bahwa mencari Tuhan adalah laku yang melintasi gender, tradisi, dan zaman. Tetapi perempuan, dalam sejarahnya, sering kali harus mencari Tuhan dengan cara yang lebih berliku. Mereka harus melewati labirin norma, dinding patriarki, dan batas-batas tubuh yang selalu dinilai. Maka, ketika Kartini menulis bahwa ia ingin menjadi manusia dulu sebelum menjadi istri atau ibu, saya menangkap itu bukan sekadar pernyataan sosial, namun juga spiritual. Ia ingin merdeka untuk mencintai Tuhan dengan utuh, tanpa dibatasi oleh peran yang ditentukan dari luar.
Saya lalu membayangkan Kartini sebagai seorang perempuan muda yang sedang duduk di kamar dengan cahaya lampu temaram, menulis surat dengan tangan yang gemetar namun hati yang mantap. Ia tahu bahwa mungkin ia tidak akan hidup lama. Tetapi ia juga tahu, bahwa kata-kata yang lahir dari kesunyian akan bisa melintasi waktu. Dan benar saja. Hari ini, lebih dari seratus tahun kemudian, saya dan kita semua masih bisa mendengar suaranya.
Kartini, dalam terang dan gelapnya, mengajari saya satu hal penting, bahwa menjadi perempuan yang berpikir adalah salah satu bentuk ibadah. Bahwa mencintai Tuhan bukan soal menjadi alim di mata orang lain, tetapi tentang terus berjalan dalam kejujuran, bahkan jika jalannya penuh duri. Bahwa spiritualitas bukan hanya soal ritual, tetapi tentang keberanian mencintai, memaafkan, dan tetap lembut dalam kerasnya kehidupan.
Maka ketika bulan April datang, dan semua orang mulai mengenang Kartini dengan puisi dan kebaya, saya lebih memilih untuk mengenangnya dengan cara yang lebih sunyi. Saya hanya menyalakan lilin di meja belajar saya, membaca surat-suratnya, lalu menuliskan perenungan ini. Karena bagi saya, mengenang Kartini bukan sekadar upacara. Namun ia adalah bagian dari proses saya sebagai perempuan yang sedang mencari Tuhan, melintasi gelap dan terang, antara tafsir dan pengalaman, antara tradisi dan cinta.
Kredit gambar: Medcom.id

Lahir di Enrekang, 5 Juli 1991. Mukim di Jl. Karunrung Raya 1 Makassar. Punya hobi traveling dan menonton.
Sederet pengalaman organisasi: IPM, JIMM, ICMI, Rumah Kajian Filsafat, dan Komunitas Literasi Perempuan.
Aktivitas mutakhir selaku pegiat literasi dan filsafat. Berprofesi sebagai penulis dan dosen.
Leave a Reply