Pagi masih cerah meninggalkan rumah. Tubuh yang masih enggan bergerak terpaksa bergegas lantaran penyelesaian tugas akhir (skripsi) sebagai mahasiswa sudah tak bisa lagi ditunda. Udara semangat pagi di hari Senin terasa mengembuskan energi jaket almamater kampus biru yang kukenakan kala itu. Selayaknya mahasiswa akhir, saya sadar bahwa waktu tak akan menunggu.
Kali ini, perjalanan terasa berbeda. Bukan karena mengenakan jaket almamater saya beranjak ke kampus seperti biasa, melainkan menyambangi sekolah yang menjadi titik objek penelitian saya: SMA Negeri 4 Bantaeng, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Smapat. Setibanya di pintu gerbang Smapat, saya disambut layaknya tamu pada umumnya.
Sekuriti sekolah dengan ramah mengarahkan saya ke satu ruangan, guna menyelesaikan beberapa tahapan administrasi. Katanya, ini perlu agar penelitian saya dapat berjalan lancar. Usai proses singkat, salah satu staf mengarahkan saya, untuk menemui guru yang menjadi fokus penelitian, buat melanjutkan tahap wawancara.
Saya mencarinya ke sana kemari, ternyata ia sedang berada di masjid sembari melaksanakan tadarus. Saya sempat ragu dan merasa tidak enak hati untuk menyita sedikit waktunya. Namun, setelah menyampaikan tujuan, saya diberi izin untuk mewawancarainya selama beberapa menit.
Beberapa pertanyaan saya lontarkan, tetapi jawaban yang saya terima terbilang normatif. Saya tidak heran. Dari pengalaman sebelumnya, wawancara dengan instansi memang sering berakhir dengan jawaban yang terdengar manis-manis saja. Payah, gumam saya dalam hati. Harapan saya selanjutnya, semoga objek wawancara berikutnya—seorang siswa—bisa memberikan jawaban yang lebih mendalam.
Berikutnya, sesuai dengan objek penelitian skripsi, saya memfokuskan pada wawancara eksklusif dengan siswa non-Muslim yang bersekolah di SMAN 4 Bantaeng. Setelah lama mencari dari satu ruangan ke ruangan lainnya, akhirnya saya diarahkan ke perpustakaan menjumpai seorang siswa bernama Nona. Ia beragama Kristen Protestan dan berasal dari keluarga Toraja, meski sudah lama bermukim di Bantaeng.
Sama seperti sebelumnya cuma ada penempatan posisi berbeda. Beberapa pertanyaan saya lontarkan kepada Nona, menyangkut proses belajar-mengajar di tengah kondisi agama mayoritas Islam. Jawabannya tidak meragukan, terlihat dari raut wajahnya yang serius saat menjawab serangkaian pertanyaan. Namun, satu hal membuat saya ragu ketika seorang teman di samping Nona tiba-tiba berkata, “Iyakah?” Saya pun mengonfirmasi ulang, dan Nona dengan yakin membenarkan jawabannya.
Yang menarik, Nona mengaku turut terlibat aktif saat pembelajaran agama Islam. Saya sempat heran, dan ketika saya tanyakan alasannya, dia hanya menjawab singkat, “Karena ingin tahu juga.” Di Smapat, Nona mengaku merasa mendapat keluarga baru. Ini kali pertama dia memiliki beberapa teman dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda.
Pendidikan Harmoni dalam Keberagaman
Akibat dari rasa ingin tahu yang dialami Nona, saya sempat berpikir tentang makna Pendidikan Harmoni dalam Keberagaman. Keberagaman suku, agama, dan adat istiadat harus dimaknai sebagai rahmat, sekaligus kekuatan untuk bersatu membangun pendidikan multikultural. Keberagaman bukan penghalang, melainkan fondasi untuk memperkuat toleransi dan saling pengertian.
Dalam konteks pendidikan, harmoni ini tercermin dalam pengakuan terhadap perbedaan dan pengembangan sikap saling menghormati di lingkungan belajar. Pendidikan multikultural yang berbasis pada keberagaman tidak hanya menciptakan ruang untuk dialog, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam perbedaan. Harmonisasi ini menjadi kunci dalam membangun generasi yang mampu menghargai pluralitas tanpa kehilangan identitas.
Wawancara Usai, Harapan yang Masih Tumbuh
Saya seringkali beranggapan jika agama-agama itu dibaca secara tekstual. Akibatnya ada jarak antar-umat beragama, sulit berkomunikasi. Dengan pendekatan secara konteks itu. Agama datang untuk memanusiakan manusia
Dari wawancara singkat itulah, saya mencoba berpikir tentang bagaimana sekolah dapat menjalankan peran strategisnya dalam menjembatani perbedaan yang ada. Sekolah, sebagai ruang pendidikan dan pembinaan, memiliki potensi besar untuk membangun kolaborasi dan sinergi, yang menjadi kekuatan dalam pembangunan pendidikan.
Ketika sekolah mampu menghadirkan bahasa agama yang menyejukkan dalam proses pembelajaran dan interaksi sosial, diharapkan tercipta iklim kondusif dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang berlandaskan pada semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap perbedaan akan memperkuat fondasi gerakan pendidikan. Dengan demikian, sekolah tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga wahana pembentukan karakter dan penguatan harmoni sosial di tengah masyarakat yang beragam.
Tak lupa saya kutipkan perkataan Nurcholis Madjid alias Cak Nur yang menekankan bahwa, “Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula toleransi dan sikap moderatnya.” Artikulasi kutipan yang bisa saya tangkap ialah, pendidikan yang berfokus pada nilai-nilai multikultural seharusnya tidak hanya berhenti pada pengajaran di kelas, melainkan meresap ke dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari.

Mahasiswa asal Kabupaten Bantaeng. Jurnalis Maritim.news.
Leave a Reply