Sepekan ini, sejak akun YouTube iNews mengunggah wawancara silam (1994) dengan Benyamin S, pikiran saya seperti terhipnosis, untuk mengulik lebih banyak tentang perjalanan komedi di Indonesia. Bukan tentang hal-hal kocak yang disuguhkan, tetapi tentang intelektualitas, kreativitas, dan idealisme yang dimiliki komedian kita di masa silam.
Komedi di Indonesia telah melewati berbagai perubahan sosial dan budaya masyarakat. Bukan hanya sebuah hiburan, komedi adalah medium refleksi, kritik, dan penyampaian gagasan yang, jika dikaji lebih dalam, menunjukkan kompleksitas intelektual di balik kelucuannya.
Dalam wawancaranya, Benyamin S, dengan cara yang tak pernah saya duga (maklum baru lahir tahun 97), membeberkan pandangan, gagasan, dan harapannya tentang Jakarta yang mulai disesaki para pendatang. “Mini Betawi”, begitu istilah yang ia pakai untuk menggambarkan obsesi yang ingin ia raih. Ia ingin membuat semacam miniatur Betawi, di mana ada sebuah tempat luas yang tidak hanya menampilkan pertunjukan-pertunjukan Betawi atau sekadar festival, tetapi juga menampilkan rumah-rumah tradisional Betawi zaman dulu, berikut pohon-pohon seperti Gohok, Rukem, dan lainnya.
Hal yang saya tangkap dari wawancara dalam video berdurasi 17 menit itu bukan lagi soal kecintaan Benyamin pada Betawi. Tetapi, saya melihat bahwa komedian, sebagaimana manusia kreatif umumnya, punya ide-ide luas, dan bahkan tidak hanya dituangkan untuk tujuan karya seni, tetapi juga untuk tanah kelahirannya.
Komedi sering kali berfungsi sebagai mekanisme pertahanan untuk menyampaikan kebenaran sosial dengan cara yang dapat diterima. Dalam hal ini, Benyamin menggunakan komedi sebagai alat untuk menyuarakan keresahan budaya dan keinginannya untuk menjaga identitas komunitasnya.
“Bagaimana pun, budaya Betawi adalah salah satu dari Bhineka Tunggal Ika, ‘kan? Kalau budaya Betawi hilang, berarti Bhineka Tunggal Ika (ada yang) kurang, ‘kan?” tutur Bang Ben santai.
Begitulah komedian. Ia sering kali dianggap pandai berguyon dan mampu sekadar bercanda saja, bahkan terkadang sampai dianggap bodoh. Bang Ben tampil dengan karakter polos dan “kampungan” dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, namun seperti katanya, “Itu hanya penggambaran kecil dan tidak jauh dari sekadar tontonan”.
“Sekadar tontonan”, dua kata menarik untuk dikulik. Beranda YouTube saya pun mengarahkan saya pada legenda komedian lainnya, tak lain dan tak bukan, Warkop DKI. Lagi-lagi karena iNews. Kali ini, iNews mengunggah video pemakaman Kasino tahun 1997, dan Dono tahun 2001. Saya ter-trigger untuk menjelajahi semua pemikiran di balik komedi-komedi di film maupun live show Warkop DKI. Jauh sebelum hari itu, saya pernah satu kali melihat wawancara Dono Warkop. Betapa dalam wawancara itu, ia tidak menjadi Dono si cerdik, licik nan keblinger seperti yang ditampilkan di film. Ia justru mengingatkan saya pada Pak Gunawan, dosen sosiologi saya saat kuliah.
Nah, itulah mungkin yang disebut “sekadar tontonan”. Bahwa Dono bersikap bodoh, nafsuan pada wanita, cerdik dan licik, itu cuma di film. Dono di kehidupan nyata adalah seorang dosen dan aktivis kampus. Dono, juga menulis novel seperti Cemara-cemara Kampus, Dua Batang Ilalang, dan Bila Satpam Bercinta. Orang bodoh mana yang bisa menulis novel?
Komedian adalah orang-orang cerdas, dan menurut saya, hanya orang-orang cerdas yang bisa berlagak seperti orang bodoh. Sementara orang bodoh, tidak akan bisa berpura-pura pintar. Orang bodoh, meski bicara serius, kita akan tahu bahwa semua yang dibicarakannya adalah hal-hal dangkal dan normatif, atau tak punya landasan.
Hari ke hari, tak lepas pikiran saya tentang Warkop DKI yang berdasarkan podcast-podcast Pakde Indro (salah satu anggota Warkop, dan satu-satunya yang tersisa), pernah mendobrak selera komedi masyarakat di awal kemunculannya. Meski di film, komedi mereka dominan slapstick, tetapi menurut pengakuan Indro, komedi Warkop DKI di panggung pentas jauh berbeda, mengandalkan verba, kata-kata, persis seperti komedi belakangan ini, yang lambat laun mulai meninggalkan komedi-komedi kasar yang seperti pernah kita lihat, misalnya, di tayangan Pesbukers ANTV.
Saya pun membaca satu persatu artikel yang pernah dibuat oleh Dono, Anda bisa mencari di Google, antara lain artikel berjudul “Kisah Sertu Jumadi” dan “Humor Berkelas itu Mengkritik”. Di sana, saya menyelami isi pikiran Dono. Dono, yang merupakan salah satu pahlawan reformasi itu, punya pandangan luas tentang komedi.
Seorang Dono tahu bahwa persepektif masyarakat di tahun 90-an terhadap komedi mulai berbeda. Masyarakat di tahun 90-an, katanya, mengharapkan komedi yang berisi sentilan-sentilan sosial politik. Dono, dengan adegan-adegan bersama perempuan seksi di film-film Warkop, tahu bahwa komedi porno atau terpeleset kulit pisang cuma komedi alternatif yang dibawakan agar mudah membuat orang tertawa. Mungkin pelawak-pelawak lainnya bisa memiliki pemikiran yang sama, tetapi yang menumpahkannya dalam sebuah artikel opini, siapa lagi? Pelawak di era 2000-an awal, tanpa niat mendiskreditkan mereka, seperti pelawak di OVJ atau Pesbukers, apa pernah?
Tetapi kini, kita boleh bernapas lega. Kemunculan Raditya Dika bersama Stand Up Comedy-nya mulai mengembalikan kualitas komedi di Indonesia. Kita, yang pernah disuguhkan komedi-komedi canggih seperti Bing Slamet, Ateng, Benyamin, hingga Warkop, dan pernah mengalami kemerosotan dengan hadirnya komedi-komedi yang menaburi kepala orang dengan bedak bayi, memukul dengan busa properti, kini kembali menemukan jiwa yang hilang.
Peran anak-anak Stand Up tidak bisa dipandang rendah. Di tangan mereka, komedi-komedi yang—setidaknya saya—diharapkan, kembali digandrungi. Saya, dan mungkin sebagian besar anak muda, kini menikmati “komedi-komedi kata” yang penuh dengan paradoks, ironi, dan sentilan-sentilan sosial politik. Bandingkan era Opera Van Java dan Pesbukers yang lebih mengedepankan atribut kocak dan pantun-pantun ejekan. Kini, komedi roasting yang dipopulerkan anak-anak Stand Up bukan sekadar ejekan, tetapi melalui riset.
Komedi itu telah kembali. Tidak perlu memakai baju badut atau celana monyet. Tidak perlu menaburi wajah dengan make-up asal-asalan, apalagi bedak bayi. Orang-orang, kini bisa tertawa terpingkal-pingkal oleh komedian yang cuma memakai jas, Hoodie, atau kemeja biasa.
Komedi yang dibawakan “anak-anak sekolahan” telah kembali. Sebab, dari pikiran yang lahir dari rahim pendidikanlah yang mampu menangkap semua hal-hal mendasar dalam kehidupan, termasuk dalam berkomedi. Meskipun, komedi-komedi slapstick mungkin masih relevan dan menghibur di mata beberapa orang, namun, seperti yang sering semua orang katakan: Semua cuma soal selera. Jadi terserah.
Tawa itu adalah tawa yang sama, tetapi lahir dari pikiran yang berbeda.
Kredit gambar: Pixabay

Lahir di Bogor, Jawa Barat, 31 Desember 1997. Menyelesaikan studi S1 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor (UIKA) Fakultas Pendidikan Agama Islam tahun 2020. Ketertarikannya pada dunia seni dan kepenulisan dimulai sejak sekolah menengah pertama. Hingga di tahun 2016, ia menempati peringkat ke-3 lomba cerpen se-SMK Negeri 1 Gunung Putri, dan pada 2019, ia meraih juara 1 Lomba Seni Akustik di kampusnya. Kini, ia bekerja sebagai tenaga teknis pada bidang pemberitaan di Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI.


Leave a Reply