Surat untuk Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
Yang terhormat,
Tuan dan Puan yang dikaruniai mandat untuk pendidikan negeri ini,
Izinkanlah saya memulai surat ini dengan sedikit keresahan bercampur doa. Keresahan, karena hari-hari kami di Dinas Pendidikan daerah kini lebih banyak dihabiskan dengan memelototi rancangan anggaran pembangunan gedung-gedung daripada mendalami rancangan kurikulum yang hidup. Dan doa, karena berharap suatu saat nanti, keberadaan saya dan kawan-kawan di dinas ini benar-benar menjadi ruh bagi ekosistem pendidikan yang tumbuh, bukan sekadar menjadi pengelola bangunan fisik yang mungkin kokoh tetapi sunyi dari makna. Padahal kita semua paham, bahwa di sebagian tempat, disrupsi, telah masuk perlahan memengaruhi cara bersekolah. Dinding-dinding pembatas penting, tapi bukan lagi segalanya.
Tuan dan Puan yang terhormat,
Kami ini, di pelosok-pelosok kabupaten, adalah petugas kecil yang seyogianya bertugas menjaga nyala lilin pembelajaran di sekolah-sekolah. Namun apa daya, tangan kawan-kawan kami sibuk mengurus proses tender, meninjau site plan, mengurus laporan akhir pembangunan, hingga kadang kami sendiri lupa bahwa tugas sejati kami adalah memastikan pembelajaran guru dan murid berlangsung dengan baik. Gedung-gedung megah itu, kami akui, memang indah dipandang. Tapi apa arti indahnya bangunan jika di dalamnya hanya ada guru yang kehilangan arah, murid yang kebingungan, dan kurikulum yang mengambang tanpa nahkoda?
Sungguh, kami ingin sekali kembali kepada panggilan utama kami: mendampingi kepala sekolah merancang program yang berdampak; menjadi teman belajar bagi para guru; mengadakan percakapan yang menumbuhkan bersama murid-murid. Kami ingin bisa fokus menyukseskan program Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, yang telah dirancang sedemikian rupa—menumbuhkan TUJUH KEBIASAAN BAIK yang sederhana namun berdampak besar: tidur lebih awal, beribadah tepat waktu, olahraga rutin, makan sehat, gemar belajar, aktif bermasyarakat, dan istirahat cukup. Tetapi bagaimana mungkin kami bisa mendampingi para guru dan murid dalam menanamkan kebiasaan ini, jika waktu kami habis di meja rapat melakukan asistensi pembangunan fisik? Percayalah, sampai akhir Desember ini, energi kawan-kawan kami di beberapa bidang terkuras memastikan pembangunan selesai tepat waktu. Betapa sedihnya menyaksikan di mejanya bertumpuk kertas-kertas laporan proyek, bukannya rapor pendidikan sekolah.
Tuan dan Puan, pernahkah terpikir bahwa gedung-gedung yang kami bangun itu, selain menjadi tempat belajar, juga menjadi panggung sandiwara yang penuh penonton? Gedung itu menjadi tempat nongkrong para pengutil, kunjungan para pengamat, dan konsultasi dari media antah-berantah. Kami dipantau sepanjang waktu, seolah-olah seluruh mata dunia mengawasi apakah laporan kami sudah sempurna, apakah lantainya sudah mengkilap, apakah cat temboknya sudah rata. Oh, kawan, apakah begini nasib seorang pelayan pendidikan?
Ada yang berkata, “Ah, kalian itu. Ada-ada saja alasannya. Jika kalian, para pegawai, bekerja lurus-lurus saja, maka semua akan berjalan lancar.” Ah, sungguh kami ingin menjawab dengan tawa getir. Tidak sesederhana itu, Tuan dan Puan. Tuntutan administrasi, laporan berjenjang, dan audit tanpa henti sering kali membuat kami kehabisan nafas sebelum sampai kepada tugas inti kami. Bukannya kami tak mau bekerja lurus, tapi percayalah, lurus pun membutuhkan ruang bernapas. Kami hanya ini fokus bekerja pada esensi pendidikan: untuk murid, untuk guru, untuk kepala sekolah, untuk orang tua, dan untuk seluruh ekosistem pembelajaran yang bisa dirangkul melalui kolaborasi yang tulus.
Oh, alangkah indahnya jika segala hal yang berbau fisik—dari perencanaan hingga pelaporan—diserahkan sepenuhnya kepada dinas lain yang memang ahli di bidang itu. Biarkan kami kembali kepada core kami: memastikan bahwa setiap murid mendapatkan cara belajar terbaik, bahwa setiap guru merasa dihargai dan didampingi, bahwa setiap kepala sekolah mampu memimpin dengan hati dan visi yang terang serta, bahwa setiap pengawas telah menjadi teman belajar yang mengasyikkan, bahwa para orang tua telah merasa terlibat dalam ekosistem yang luas dan dalam ini. Biarkan kami merawat kurikulum yang relevan, membangun sekolah yang bersahabat dengan alam, dan menjaga agar sekolah-sekolah ini menjadi ruang yang ramah, hijau, dan penuh harapan.
Entahlah bagi yang lain. Saya membayangkan sebuah ekosistem pendidikan yang harmonis, di mana sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat tumbuhnya adab dan karakter. Kami ingin sekolah-sekolah ini berkontribusi pada iklim global, menjadi ruang hijau yang menyerap lebih banyak kebaikan daripada karbon. Dan di atas segalanya, kami ingin fokus pada hal yang benar-benar penting: anak-anak kita, masa depan bangsa ini. Bukankah Anda dan yang lain sering bertanya? “Kemana anak-anak kita yang penuh bakat dan talenta itu? Apa saja yang telah dilakukan oleh dinas pendidikan daerah?” Maafkan. Sungguh, saya tak punya jawabannya.
Tuan dan Puan yang terhormat,
Kami memohon dengan segala kerendahan hati, biarkanlah kami menjalankan tugas kami sesuai keterampilan dan kapasitas kami. Jangan bebankan kami dengan hal-hal yang bukan menjadi inti pekerjaan kami. Izinkan kami bekerja demi cita-cita pendidikan yang mulia, demi murid-murid yang akan memimpin bangsa ini ke masa depan yang lebih baik.
Dengan penuh harap dan sedikit keresahan yang sudah waktunya kami sampaikan. Untuk informasi yang lebih jelas, Tuan dan Puan boleh memvalidasi keresahan saya ini di daerah-daerah lainnya. Maaf sebanyak mungkin, jika surat ini mengusik Tuan dan Puan. Tapi percayalah, tujuannya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk murid-murid kami.
Usman Djabbar
Pelayan kecil pendidikan di daerah.
Kredit gambar: kibrispdr.org

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.


Leave a Reply