Efek Domino sebuah Penghargaan

Nak, kalau kamu senang jika dapat nilai bagus, kejarlah itu. Jika kamu senang dapat pujian guru, karena rapi dan tak pernah telat masuk kelas, pertahankan itu.

Itulah bunyi salah satu pesanku pada anak kami yang duduk di kelas 4 SD, bertahun-tahun lalu. Meskipun saya tahu, bahwa mengejar sesuatu semata karena penghargaan sifatnya takkan bertahan lama. Suatu waktu nanti dia akan mengerti. Dia biasanya tiba di rumah dengan wajah ceria, jika pengalamannya hari itu menyenangkan selama di sekolah. Begitu pula sebaliknya, bila ia dimarahi guru karena kesalahan yang ia lakukan, maka raut kekecewaan akan tergambar di wajahnya.

Walaupun saya tahu pujian yang ia dapatkan sebenarnya belum benar cara mengungkapkannya. Karena pada umumnya pujian orang hanya fokus pada pelakunya bukan pada perbuatannya. Padahal semestinya terbalik, yang dipuji seharusnya adalah perbuatannya bukan orangnya. Tapi begitulah yang jamak terjadi. Bagaimana pun bentuknya, orang-orang rupanya masih sangat menikmati segala ungkapan atau pernyataan yang bentuknya berupa pujian.

Pujian adalah salah satu bentuk penghargaan nonmateri. Di samping ada pula penghargaan yang disertai dengan materi. Kala kita menulis di Kompasiana, kita dihargai dalam bentuk nonmateri. Berbeda dengan aktivitas menulis di media cetak, di mana penulis akan mendapatkan fee atas karya atau tulisan yang ia kirimkan ke media tersebut.

Intinya, bagaimanapun bentuk pengungkapannya, sepanjang pesan tersebut berhasil sampai kepada orang yang dituju (obyek), maka hasilnya akan luar biasa. Karena meskipun pujian tersebut diungkapkan namun tidak sampai pada telinga yang dipuji, usahanya akan sia-sia saja. Karena tidak berefek pada sang penerima pujian.

Dulu sekali awal berkeluarga, saya masih menganggap memuji anak yah memuji saja. Tak ada embel-embel mesti dengan cara  begini atau cara  begitu. Nanti setelah membaca buku Dr. Thomas Gordon, Menjadi Orangtua Efektif dalam Teori dan Praktek, tentang metode pesan aku yang efektif, saya jadi paham bagaimana cara memuji yang benar. Namun, kenyataan di masyarakat masih lazim menggunakan model pujian pada pelakubukan pada perilaku.

Dalam dialog lain dengan anak kami yang SMP, saya pernah memancing dia dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kegiatan di sekolahnya. Ia sangat suka basket meski badannya tidak tinggi-tinggi amat. Pada suatu ketika  ia berhasil melakukan shooting(lemparan bola ke dalam keranjang). Senangnya bukan main, sampai ia jingkrak-jingkrak cerita sewaktu tiba di rumah.

Nah, dari satu kali keberhasilan itu ia kemudian menjadi semakin bersemangat untuk berlatih. Karena ia semangat berlatih, ketrampilan bermainnya pun makin meningkat. Karena penguasaannya makin baik, tentu akan melahirkan lagi prestasi-prestasi berikutnya. Misalnya timnya terpilih untuk mewakili sekolah bertanding melawan tim dari sekolah lain, dst. Begitulah siklus yang terus-menerus terjadi  tanpa jeda.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika dalam perjalanan itu si anak mengalami kekalahan atau kegagalan? Nah, di sinilah peran orangtua yang sangat penting untuk menjadi tempat curhatan anak. Jika si anak puas dengan respon orangtuanya, lalu menemukan solusi sendiri dari hasil perbincangan mereka, maka biasanya anak akan kembali normal dan siap untuk memulai lagi hari yang baru, ataupun bangkit kembali memperbaiki kesalahannya yang lalu.

Seorang penulis dalam duna tulis menulis, yang diberi penghargaan atas tulisannya, semisal di Kompasiana dengan Headline atau Highlight misalnya, akan terdorong untuk terus menulis lagi dan lagi. Mungkin pada awalnya ia mudah down jika tulisannya tidak mendapat tempat apa-apa, tapi bagi penulis yang sudah mapan dan sudah kenyang makan garam di sini, tak dapat apresiasi pun bukanlah sebuah perkara. Toh masih banyak tulisannya yang lain yang pernah dapat penghargaan.

Saya hanya mau bilang, kejarlah penghargaan tersebut jika itu akan membuat diri kita senang dan berbunga-bunga. Karena efeknya akan luar biasa. Ia akan terus memengaruhi aktivitas-aktivitas kita berikutnya. Akan tetapi berbeda dengan orang-orang yang telah melalui semua pengalaman  ini, yang sudah terbiasa dengan apresiasi atau yang tanpa apresiasi.

Mengapa menjadi terbiasa? Karena orang yang memiliki sesuatu tidak akan terdorong untuk mencari sesuatu itu. Orang yang sudah sering atau minimal beberapa kali dapat penghargaan, tentu tidak akan terlalu tergila-gila lagi dengan penghargaan yang sama. Karena filosofi orang yang memiliki biasanya tidak akan mencari apa yang telah ia miliki. Orang seperti ini sudah beranjak pada level menulis demi tujuan kebermanfaatannya, bukan berhenti hanya pada level penghargaannya saja.

Entah kita berada pada level yang mana. Campuran pun tak apa, yang penting masih mau menulis dan berkarya. Tapi jangan pernah meremehkan sebuah penghargaan. Karena sekecil apa pun penghargaan itu, tetap akan memberikan dampak positif pada si penerima. Asalkan jangan berlebihan seolah tujuannya hanya yang satu itu. Sampai lupa pada sisi yang lainnya.

Kredit gambar: https://blog.kejarcita.id/


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *