Menakar Kembali Esensi KKN

Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diwajibkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia adalah sebuah langkah strategis yang patut diapresiasi, karena ia membuka ruang bagi mahasiswa untuk bersentuhan langsung dengan realitas sosial di masyarakat.

Namun, di balik gagasan mulia tersebut, tersembunyi tantangan yang tak kalah pentingnya: Bagaimana memastikan bahwa program ini tidak terjebak dalam sekadar formalitas?

Esensi KKN seharusnya menjadi jembatan antara dunia kampus yang teoritis dan masyarakat yang kaya akan praktik. Namun, sayangnya, apa yang sering terjadi di lapangan menunjukkan kecenderungan program ini menjadi rutinitas yang kehilangan makna.

Seperti yang dikatakan salah satu warga desa, “Kalau di desa ini santai saja, buat program yang seadanya dan yang penting ada laporan.” Ucapan tersebut, walau tampak sederhana, sebenarnya mengandung kritik mendalam terhadap pelaksanaan KKN yang sering kali hanya menekankan pada laporan administrasi, alih-alih pengabdian yang nyata.

Menyikapi hal ini, penting untuk mengingat kembali tulisan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, di mana ia menekankan pentingnya dialog yang sejati antara pendidik dan yang dididik. Freire mengingatkan kita bahwa tanpa dialog yang bermakna, proses pendidikan, termasuk KKN, hanya akan menjadi mekanisme kosong yang tidak membangun kesadaran kritis. Dalam konteks KKN, mahasiswa dan masyarakat seharusnya berperan sebagai mitra sejajar yang saling belajar dan tumbuh, bukan sebagai subjek dan objek yang terpisah.

Namun, sering kali program KKN hanya menjadi proyek instan yang sekadar memenuhi syarat akademik. Pembuatan rambu jalan, pengecatan batas desa, atau perbaikan infrastruktur sederhana memang penting, tetapi apakah itu benar-benar memberdayakan masyarakat? Atau justru hanya menjadi formalitas yang dilaksanakan tanpa pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat?

Hal ini mengingatkan kita pada konsep “theory of practice” dari Pierre Bourdieu, di mana praktik yang tidak disertai refleksi kritis hanya akan mengukuhkan status quo tanpa membawa perubahan yang berarti.

Tidak bisa dimungkiri, masyarakat lokal pun memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal tersebut secara mandiri. Bahkan, kemungkinan hasilnya akan lebih aesthetic, karena mereka lebih memahami keunikan dan kebutuhan lingkungan mereka sendiri.

Lebih dari sekadar rutinitas tahunan, KKN seharusnya menjadi momentum bagi mahasiswa untuk mempraktikkan ilmu mereka dengan penuh kesadaran sosial. Masyarakat bukanlah objek pasif yang hanya menerima program dari mahasiswa, melainkan mitra aktif yang turut serta dalam merumuskan solusi bagi permasalahan yang dihadapi. Di sini, penting untuk melihat masyarakat bukan sebagai penerima manfaat semata, tetapi sebagai rekan kerja dalam proses pemberdayaan yang sesungguhnya.

Dengan demikian, perlu ada evaluasi yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan KKN, agar program ini tidak kehilangan substansinya. Seperti yang ditulis oleh Ivan Illich dalam Deschooling Society, kita harus waspada terhadap program-program pendidikan yang terlalu terstruktur hingga kehilangan esensinya.

KKN perlu dijalankan dengan pemahaman mendalam, bahwa perubahan sosial tidak bisa dicapai hanya dengan proyek-proyek instan, tetapi melalui proses yang panjang, penuh dialog, dan melibatkan masyarakat secara aktif.

Dengan demikian, saya memaknai, KKN adalah program yang berpotensi besar, jika dijalankan dengan benar. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan komitmen yang lebih dari sekadar laporan dan formalitas administratif.

Diperlukan juga keberanian untuk mempertanyakan dan merefleksikan setiap langkah yang diambil, agar KKN benar-benar menjadi jembatan yang menghubungkan dunia akademik dengan realitas sosial, serta membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat.

Kredit gambar: Mojok.co


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *