Benarkah Kebahagiaan itu Diciptakan?

Banyak dari kita masih belum dapat membedakan antara bahagia dan kesenangan. Mayoritas kita di Indonesia, menyamakan antara bahagia dan kesenangan. Misalnya ungkapan, “Saya bahagia walau hanya makan nasi pecel,” sembari berswafoto dengan makanannya dan mengunggah di media sosial.

Indonesia sendiri berada pada urutan ke 84  dari 137 negara yang bahagia dengan score 5.277. Artinya, kita masih berada pada kategori rendah untuk kebahagian. Urutan teratas adalah  Finlandia, padahal negara tersebut harus membayar pajak perbulannya hingga 56%. Denmark, Islandia, Israel, Belanda, Swedia, Norwegia, Swiss, Luxemburg, dan Selandia baru adalah 10 negara paling bahagia lainnya.

Di negara paling bahagia tersebut, jika anak mereka pulang tengah malam, para orangtua tidak merasa kan kekhawatiran karena mereka yakin anak mereka aman-aman saja. Bahkan sejak usia 5 tahun mereka telah dilatih untuk ke supermarket terdekat dengan rumah mereka, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun.

Ini untuk membuktikan ke anak-anak  bahwa tempat tinggal kita ini aman. Mereka juga tidak perlu khawatir jika ada barang yang tertinggal di bus station. Walaupun  empat jam kemudian baru mereka tersadar bahwa barang mereka ketinggalan dan balik kesana, maka dipastikan barang tersebut masih ada  dan tidak bergeser sama sekali dari tempatnya.

Inilah yang dimaksud ukuran kebahagian yang sebenarnya. Masyarakat setempat merasakan kenyamanan, keamanan sehingga dapat berkativitas dengan baik, aman dan tentram tanpa perlu merasa khawatir, curiga dan ketakutan.

Sekarang, kita bandingkan dengan kondisi negara kita di Indonesia. Apakah hal-hal seperti penggambaran diatas sudah kita rasakan? Apakah anak-anak kecil dapat dengan aman bepergian sendiri ke supermarket terdekat, tanpa perlu diantar? Apakah kita tidak merasa khawatir anak kita akan dibegal, jika mereka pulang tengah malam? Apakah jantung kita tidak perlu berdebar kencang, ketika kita lupa barang berharga kita di statiun bis dan empat jam kemudian baru kita tersadar? Jika ini semua sudah dapat kita rasakan, maka besar kemungkinan peringkat kita akan naik juga ke posisi atas, sebagai negara paling bahagia.

Pertanyaan yang muncul sekarang, mengapa negara lain dapat merasakan bahagia sedangkan kita belum dapat merasakannya?  Karena ternyata memang kebahagian itu diciptakan. Bahagia itu adalah sesuatu yang harus dilatih sejak kecil, baik di lingkup keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Di Jepang, anak-anak telah dilatih berempati sejak kecil, merasakan penderitaan orang lain. Contoh,  jika ada barang milik orang lain ketinggalan dan mengapa kita tidak boleh mengambilnya. “Bagaimana perasaanmu jika barangmu hilang?” Pastinya sedih kan? Nah begitu juga dengan pemilik barang ini, pasti merasa sedih oleh karena itu kita tidak boleh mengambilnya.”

Mereka juga telah dilatih untuk berjalan di zebra cross,  dilatih untuk antri. Bahkan, mereka dilatih untuk berderma dan menolong orang tanpa pamrih. Berbuat baik bagi mereka adalah hal yang biasa bukan sesuatu yang perlu mendapatkan penghargaan.

Bagaimana di negara kita? Dapat kita saksikan di televisi, bagaimana seorang cleaning service yang diberikan penghargaan, karena menemukan tas penumpang yang ketinggalan di kursi bandara dan mengembalikannya. Ini buat kita adalah perbuatan superhero dan patut diapresiasi. Sebagaimana layaknya seorang pahlawan yang perlu diberikan tanda jasa karena telah berbuat baik.

Mengapa seperti itu? Karena negara kita, tidak atau belum membiasakan bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan, menanamkan empati sehingga mengambil barang orang lain yang ketinggalan dianggap rejeki anak saleh. Berderma buat kita masih mengharapkan pahala seratus kali lipat dan akan dibalas suatu hari kelak. Di negara kita, berbuat baik itu masih langka.

Saatnya menciptakan kebahagian yang dapat kita mulai dari diri kita sendiri, keluarga kecil kita, teman-teman dekat dan lingkungan sekitar. Tanamkan rasa empati, ajarkan antri, ajarkan menyebrang di zebra cross, ajarkan berderma tanpa pamrih, ajarkan menolong orang dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dan kebaikan-kebaikan lainnya yang dapat membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang baik. 

Bermula dari satu orang, tiga orang, 15 orang dan akhirnya dapat menjadi puluhan, ratusan dan ribuan orang dengan perilaku seperti ini, maka yakinlah negara kita akan naik ke posisi atas sebagai negara paling bahagia.

Kredit gambar: https://www.pngwing.com


Comments

2 responses to “Benarkah Kebahagiaan itu Diciptakan?”

  1. Abdul Muthalib Hinar Avatar
    Abdul Muthalib Hinar

    Alhamdulillah, luar biasa, lanjutkan dan di tunggu tulisan berikutnya

  2. Keren artikelnya ummi👍
    Berharap suatu saat negara kita akan menemukan kebahagiaan🙏🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *