Ada beberapa versi terkait cerita mitologis yang menjadi dasar pembentuk tradisi masyarakat Gantarangkeke, dalam hal ini tradisi Pajukukang. Dari beberapa versi cerita tersebut, saya mengategorikan ke dalam tiga versi alur cerita.
Pertama, versi yang menghubungkan dengan pernikahan Putri Gantarangkeke dengan penguasa dari Luwu atau Cina. Dari pernikahan tersebut lahir Karaeng Loe yang merupakan cikal bakal raja di Kerajaan Gantarangkeke.
Kedua berkenaan dengan tujuh orang bersaudara yang juga dianggap sebagai cikal bakal pemukiman di Gantarangkeke. Ketiga, berkenaan langsung dengan Tomanurung ri Gantarangkeke atau Karaeng Loe, yang tak lain adalah penjelmaan dari dewa.
Kesemua versi cerita tersebut hidup dan dipercayai oleh masyarakat dan pemangku adat, meskipun terdapat beberapa kontradiksi pada alur cerita. Sepertinya mereka tidak merasa penting tentang cerita mana yang menurut mereka “paling benar”.
Mereka menerima seluruh versi cerita tersebut, sebagai legitimasi historis, magis, etis, dan kultural dari rangkai tradisi adat Pa’jukukang yang mereka laksanakan.
Versi cerita pertama dihubungkan dengan tokoh epos La Galigo, yaitu Sawerigading. Suatu ketika, Sawerigading (salah satu tokoh utama dalam Epos La Galigo), yang berasal dari Luwu mengunjungi Bantaeng dengan berlabuh di Nipa-Nipa di pantai Pajukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.
Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri setempat. Versi lain mengatakan bahwa yang menikahi Dala adalah seorang pangeran dari Cina.
Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Gantarangkeke inilah yang kemudian diperingati setiap tahunnya. Dalam versi lain sebenarnya yang menikahi Dala adalah La Galigo atau anak dari Sawerigading.
Versi lain, diceritakan bahwa La Galigo, penguasa dari Luwu pernah singgah di Bantaeng dan mengunjungi Gantarangkeke. Sewaktu di sana La Galigo bertemu dengan putri setempat. Selang beberapa waktu, meninggalkan istrinya yang sedang hamil untuk kemudian kembali ke Luwu.
Diceritakan kemudian, istri La Galigo bersama pengikutnya yang semuanya perempuan meninggalkan Gantarangkeke untuk menyusul La Galigo ke Luwu. Rombongan tersebut tiba di Luwu ketika sedang berlangsung sebuah perayaan. Putri dan semua pengikutnya menyamar sebagai laki-laki.
Mereka melakukan sabung ayam dengan La galigo dan ayam sang putri menang melawan ayam La Galigo. Karena menang dalam adu ayam, putri kemudian membuka rahasia dan memperlihatkan identitasnya yang asli. La Galigo amat kaget, tetapi menerima istri dan rombongannya dengan baik. Oleh istrinya ia diajak kembali ke Gantarangkeke, tapi karena La Galigo tidak mau lagi kembali ke Gantarangkeke, ia meminta kepada istrinya untuk pulang terlebih dahulu dan ia akan menyusul.
Ia berpesan kepada istrinya, untuk melakukan upacara tahunan di sana untuk mengenang pertemuan mereka. La Galigo juga berpesan kepada istrinya untuk mendirikan dinasti di Gantarangkeke.
Ketika tiba waktu yang dijanjikan pergilah sang putri bersama rombongan untuk menunggu sang suami di P’ajukukang. Selama tiga hari mereka menunggu dan selama menunggu itu mereka melakukan beberapa kegiatan.
Setelah tiga hari ditunggu tak kunjung datang, rombongan sang putri pun bergeser ke Labuang Korong untuk melihat lebih jauh dari ketinggian. Namun, tak kunjung ada tanda-tanda bahwa suaminya akan datang.
Keesokan harinya, putri dan rombongan kembali ke Gantarangkeke, lalu melakukan sebuah pesta sebagaimana pesan suaminya. Pesta tersebut terus dilangsungkan setiap tahunnya.
Menilik pada lokasi pertama tempat sang putri menunggu suaminya, yaitu di daerah Pa’jukukang, maka pesta adat tersebut kemudian diberinama pesta Pa’jukukang.
Anak dari sang putri dan La Galigo inilah, kemudian menjadi cikal bakal kerajaan Ganatrangkeke dan dikenal dengan nama Karaeng Loe. Meski dalam versi lain dikatakan, Karaeng Loe yang dimaksud adalah La Galigo sendiri.
Diceritakan pula versi lain, penguasa yang menikahi putri Gantarangkeke yang bernama Dala adalah pangeran dari Cina. Dikisahkan seorang pangeran Cina berlabuh di Pa’jukukang dan kemudian naik ke Gantarangkeke, yang pada saat itu merupakan pusat pemukiman dan perkampungan yang ada di Bantaeng.
Di Gantarangkeke ia menetap beberapa waktu dan menikah dengan putri penguasa setempat. Ketika sang istri sedang hamil, maka sang pangeran tersebut pergi kembali ke negaranya dan meninggalkan sang putri yang sementara hamil.
Sang putri kemudian menyusul suaminya hingga ke negeri Cina, tapi suami sang putri tidak bersedia untuk kembali ke Gantarangkeke, dan ia berpesan kepada sang putri untuk mengadakan perayaan setiap tahun demi mengenang pertemuan mereka pada saat hari lahir anak mereka.
Ketika anaknya lahir, sang putri pun mengadakan pesta besar yang mengundang banyak orang termasuk para penguasa di sekitar. Pesta tersebut juga dilakukan untuk mengenang suaminya dan diakukan setiap tahun pada hari ulang tahun anaknya yang diberi nama Karaeng Loe. Pesta ulang tahun tersebut kemudian terus berlangsung hingga ke generasi berikutnya.
Dari tiga alur cerita di atas, sebenarnya terdapat titik temu. Penguasa dari Luwu atau pangeran dari Cina adalah sosok yang sama. Sosok yang dimaksud adalah La Galigo yang merupakan keturunan dari Sawerigading yang menikah dengan putri Cina. Dapat pula diasumsikan, bahwa juga sosok tersebut adalah Sawerigading sendiri yang baru saja datang dari Cina setelah menikah dengan salah seorang putri dari sana.
Melalui narasi ini, masyarakat Gantarangkeke menghubungkan akar tradisi mereka dengan tokoh utama dalam epik Sulsel, yaitu Sawerigading atau La Galigo. Melalui narasi ini juga, seolah masyarakat Gantarangkeke hendak menegaskan historisitas mereka sebagai salah satu wilayah yang tua di Sulsel, karena berhubungan langsung tokoh utama dalam sejarah kuno Sulsel, yaitu Sawerigading atau La Galigo. (Bersambung ke bagian 2).
Kredit gambar: daerahkita.com

Doktor di bidang studi agama. Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN. Memiliki spesifikasi pada kajian agama dan masyarakat di Kawasan Timur Indonesia.
Leave a Reply