Pagi menjelang siang, saya menelepon umi. Tanpa pemberitahuan, seperti biasa. Dua atau tiga hari sekali, saya melakukan video call atau ketika jaringan buruk, saya beralih ke panggilan biasa.
Saat itu Shanum dalam dekapan, posisinya duduk menghadap ke dada, video call itu diangkat oleh umi yang sedang bersiap-siap memasak.
Umi menjawab dengan riang gembira, menyapa cucu dan anaknya, “Eh ada yang sedang manja-manja.” Ujar umi melihat posisi Shanum saat itu. Menyambung ujaran umi, saya lalu bercerita jika saat ini Shanum baru selesai menangis, tangisannya seperti sewaktu jatuh dari kasur, padahal tidak apa-apa. Karena, saya sedang tidak didekatnya.
Saat ini, Shanum memang dalam fase lengket sama ibunya. Pokoknya ibu mesti di dekatnya, belum puas atau sudah bosan, ia akan minta digendong. Tidur pun mesti ditemani, dalam naungan ketiak ibu. Sambil mengisap jempol, ia akan mengambil sejumput baju ibunya, lalu ia padupadankan dengan jempolnya. Lama kemudian barulah ia bisa terlelap. Jika tidak, ia akan berguling sejajar dengan pantat ibunya. Seringkali juga, ia tidur dalam keadaan memeluk ibu.
Belum juga umi membalas ucapanku, saya melanjutkan cerita. Sewaktu kami berada di rumah neneknya di Tombolo, Kabupaten Bantaeng. Shanum tidak mau digendong orang lain. Ia akan menangis. Begitu kembali ke ibunya, tangisannya seketika berhenti dan tertawa seperti tidak pernah ada air mata sebelumnya. Ketika diambil lagi, ia akan mengulangi hal yang sama. Orang-orang di sana kaget dengan perkembangan emosi Shanum.
Sebelumnya ketika belum genap 6 bulan. Ia masih mau digendong oleh orang-orang tertentu, seperti kedua neneknya. Namun, sekembalinya kami di usia 6 bulan lebih, itulah yang terjadi. Orang-orang jadi heran, kenapa Shanum tidak mau digendong selain ibunya. Mungkin Shanum lebih heran lagi, kenapa ia tiba-tiba tidak mau digendong selain ibunya.
Mendengarnya, umi pun tertawa. Sama sekali tidak heran, katanya. Itu perkembangan yang sangat wajar. “Aqilah dulu juga begitu,” kata Umi. “Iyakah umi?” Jawabku heran, seolah tidak percaya ternyata saya pun demikian di waktu kecil. Itu artinya emosinya dalam keadaan normal, jelas umi. Aqilah mestinya bersyukur.
Sejujurnya, bagi seorang ibu, keadaan begini sungguh membuat capek dan menguras emosi, meski di saat yang sama saya juga menikmatinya karena merasa spesial bagi Shanum. Umi bercerita, dulu itu Aqilah kalau umi mau lewat di depannya harus tutup muka dengan jilbab, supaya Aqilah tidak menangis minta digendong. Saya tertawa membayangkan ternyata diriku pun begitu.
Begitulah salah satu kilasan kisah keseharian saya sebagai ibu baru. Baru saja memiliki anak berumur jalan 7 bulan.
Menutup telepon dengan umi, sambil mengemong Shanum, saya memikirkan bagaimana saya bisa semelekat nan selengket itu dengan umi yang kini sudah berada jauh antar kabupaten dengannya. Bertemu hanya ketika umi berkesempatan datang ke Bantaeng atau ketika kami berlibur ke Makassar. Bahkan dulu saya pernah berkata pada umi, sebelum menikah—sekitar SMP-SMA mungkin. Bahwa kelak ketika saya menikah, saya ingin umi tinggal bersama. Tidak berpisah. Alhasil ketika saya melahirkan, umi pun musti “terjebak” kurang lebih sebulan di Bantaeng, karena saya tidak mau ditinggal. Atau ketika kami ke Makassar, kebablasan hingga dua bulan di sana. Hingga, Ayahnya meminta kami untuk menyudahi liburan tak berkesudahan itu dan berkemas untuk siap-siap dijemput pulang.
Menuliskan ini, jadi timbul rasa kangen berbaring di pangkuan umi selepas umi salat sambil bercerita. Atau kebiasaan sewaktu di Makassar baru-baru ini, sebelum tidur kami sering bercerita. Bahkan tertawa dan menutup topik dengan kalimat, “Ayo mi kita tidur, kalau mau terus dilanjut, nda selesai-selesai ini cerita.” By the way, umi adalah seorang capricon sama sepertiku. Hanya sesama capriconlah yang semenyenangkan itu dalam mengobrol.
Lanjut dengan pemikiran tadi, bagaimana bisa seorang manusia dewasa kelak akhirnya bisa berpisah dari ibunya secara sukarela?
Ternyata, fase yang dialami oleh Shanum sekarang bersama dengan jutaan bayi lainnya, dinamakan separation anxiety, ketakutan berpisah. Dalam buku karangan Su Laurent, seorang konsultan pediatri, Ensiklopedia Perkembangan Bayi dijelaskan jika separation anxiety akan berlangsung berkisar 6 bulan hingga pada bulan ke 8, ibunya akan menjadi orang terfavorit dalam hidupnya.
Lebih lanjut ,“Hal ini merupakan fase penting bagi perkembangan sosial dan emosional si buah hati. Perlahan-lahan, bayi akan berkurang stressnya saat terpisah dengan Anda, seiring ia belajar dan menyadari bahwa Anda selalu datang kembali jika meninggalkannya. Begitu si kecil bisa bergerak, ia akan dapat mengikuti Anda jika keluar ruangan. Ini akan membantu menghilangkan ketakutannya sedikit.”
Ada tips juga dari buku ini, “Sementara itu, biarkan si kecil berada dekat Anda sebisa mungkin. Mintalah orang lain untuk menahan diri dan membiarkan si kecil yang memulai interaksi dengan mereka, dan tidak memulai pembicaraan terlebih dahulu”. Jujur saja tips ini, agak sulit dilakukan di tengah masyarakat penuh spirit kekeluargaan.
Di akhir cerita ini, Shanum pun mulai tertidur. Jawaban pada pertanyaan, pada isi kepalaku pun mulai terangkai, seperti begini, barangkali saja kita tidak benar-benar bisa berpisah dari Ibu. Setiap orang dewasa tetap saja memerlukan ibunya. Bahkan, ibu pun masih membutuhkan ibu. Dalam hadis pun diulang sebanyak 3 kali, ibu ibu ibumu. Bukan saja karena mendahulukan ibu, melainkan sebegitu memerlukannya kita dengan pengulangan demikian.
Kesadaran diri yang dimulai dari merangkak jika kita tetap akan bisa membersamai ibu, membekali kita yang akan berpergian jauh darinya. Jika dengan kaki ini kita masih bisa kembali ke pelukan ibu.
Semoga saja, kakinya anakku, Shanum Asyura Macca, akan senantiasa membawanya pulang ke pelukanku, ibunya. Menjadikannya tempat pulang paling nyaman. Kapan pun dan berapa pun usianya kelak.

Seorang ibu pembelajar sepanjang hayat. Ketua Balla Literasi Indonesia. Bisa dihubungi di IG: @nurulaqilahmuslihah
Leave a Reply