Mengeja Ritus Pa’jukukang

Tradisi lokal yang merupakan kekhasan Gantarangkeke adalah tradisi upacara Pa’jukukang. Tradisi tersebut, dahulu ditujukan sebagai pemujaan kepada Tomanurung Karaeng Loe, diadakan setahun sekali pada setelah musim panen.

Pesta upacara adat Pa’ajukukang menjadi momen bagi masyarakat Gantarangkeke, guna melepaskan nazar setelah panen, sebagai tanda syukur kepada Allah, atas karunia-Nya, serta untuk saling bersilaturahmi.

Bagi masyarakat asal Gantarangkeke yang tinggal di luar Gantarangkeke, upacara adat tersebut, juga sekaligus digunakan sebagai momen, untuk pulang ke kampung halamannya dan bersilaturahmi dengan keluarga. Kini, karena waktu pelaksanaan yang dilakukan pada bulan Syakban, maka acara tersebut juga dijadikan pesta dalam rangka memasuki bulan suci Ramadan.

Ketika upacara Akkawaru di Gantarangkeke, pinati akan membaca mantra, sejenis panggilan mistik kepada orang-orang untuk datang di acara Pa’jukukang nanti. Mantra yang dibaca, “Battu ngaseng mako mae assiarai passossoranna Karaeng Gantarangkeke, niareka Karaeng Loe poro nalabbuang lalako umuru’nu Karaeng Allah Ta’ala nubattu ngaseng tampole.” (Datanglah kalian semua menziarahi anak-cucu Karaeng Gantarangkeke yang bernama Karaeng Loe, semoga Allah memanjangkan umurmu sehingga kalian bisa datang lagi tahun depan).

Salah satu hasil Akkawaru, akan ada pabala atau to manappu yang bertugas menentukan (memberi tanda) pada pohon kelapa yang baik, tidak boleh dipetik lagi hingga ritual Pa’jukukang dimulai. Selain itu, ada juga pun juku, bertugas memberi tanda larangan menangkap ikan di sungai, sebagai tempat ritual.

Tampak pula, tau toana Balla’ Lompoa, bertugas menghiasi Balla’ Lompoa, poko’ erasa (pohon beringin) yang sangat besar di samping Balla’ Lompoa, serta membangun barugayya (tempat pertemuan) di bawah poko’ erasa itu.

Rangkaian upacara Pa’jukukang, sebenarnya dimulai enam bulan sebelum pesta puncak diadakan, yaitu dilakukan pada pertengahan bulan Safar dengan upacara yang disebut assulukang pangngajai. Selanjutnya sebuah upacara dilakukan pada 3 bulan setelahnya. Tepatnya, pertengahan bulan Jumadil Awal, bernama upacara Akkawaru.

Pada saat bulan Syakban, diadakanlah acara kalau ri pajukukang, bertempat di Kecamatan Pajukukang. Puncaknya pada pertengahan bulan Syakban di Gantarangkeke, diselenggarakan upacara angnganre to balla’na, yang dilaksanakan selama dua malam. Acara puncak dari semua rangkaian itu adalah ritual angnganre Karaeng Loe.

Secara tradisional, penentuan waktu pelaksanaan upacara dilakukan dengan membakar kanjoli (semacam lilin yang terbuat dari kemiri yang dihaluskan dengan kapas, kemudian ditempelkan pada kayu atau bambu). Jumlah kanjoli sebanyak 360 buah, mewakili 12 bulan dalam setahun dan 30 hari dalam sebulan.

Kanjoli dibakar satu per satu setiap malam. Apabila kanjoli yang dibakar telah habis, maka itu pertanda bahwa besok upacara adat  Akkawaru akan dilaksanakan. Cara tradisional tersebut, kini dipadukan dengan perhitungan penanggalan kalender Hijriyah, untuk perhitungan pelaksanaan upacara, di mana pelaksanaan upacara Akkawaru dilakukan di pertengahan bulan Jumadil Awal (bulan kelima dalam penanggalan Hijriyah).

Perayaan Pa’jukukang dimulai dengan assulukang  pangajai, enam bulan sebelum upacara inti dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pangngajai, masyarakat adat mengelilingi pemukiman mereka. Persembahan berupa rappo (salah satu jenis buah-buahan) dan kalongkong (kelapa muda), akan disimpan oleh pinati di setiap babang benteng dan tinggalan-tinggalan megilitik yang ada di situs ini.

Persembahan ini ditujukan kepada arwah leluhur, agar kampung mereka dapat dilindungi dari malapetaka.  Pada saat acara pangngajai tersebut oleh pinati dibacakan doa untuk keselamatan, bukan hanya bagi penduduk kampung Gantarangkeke, tapi juga keselamatan dan kedamaian bagi seluruh umat manusia di dunia.

Doa yang dibacakan menggunakan bahasa lokal dan menyebut nama Karaeng Loe dan nama Allah. Ritual ini hanya terbatas diikuti oleh pemangku adat saja, tidak ada kemeriahan yang terjadi sebagaimana pada acara-acara ritual adat selanjutnya, yaitu akkawaru, kalau ri pajukukang, dan angnganre to balla’na.

Persiapan acara tersebut dimulai pada akhir bulan Rajab (tanggal 29 atau 30). Kepanitiaan sampulo angruwa mulai memeprsiapkan acara, dimulai dengan pertemuan para panitia 12 tersebut, untuk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai job description menurut aturan adat.

Adapun panitia 12 tersebut, anrong suro, to manappu/bali to manappu, puanna, galla’ bicara, binakkasa, pinati, to panritana balla’ lompoa, to toana Balla’ Lompoa, to pasarena, anrong guru, pun juku/paerang bulo sulona, dan to kanre lalanna. Mulailah dipersiapkan berbagai macam kebutuhan, untuk keperluan upacara adat, termasuk kebutuhan logistik seperti beras, dan lain-lain.

Pada tanggal 10 Syakban, sebelum acara dimulai, seorang yang disebut pun juku mengambil alat-alat penangkapan ikan dari tumappasere’na (sebuah rumah di Gantarangkeke) untuk dibawa ke Nipa-nipa (Kecamatan Pa’jukukang) yang berjarak lebih kurang 6 km dari Gantarangkeke.

Di jalanan, orang yang melihat pun juku akan berteriak “kalau’mi pajukuka” (nelayan sedang menuju laut). Di Nipa-Nipa, pun juku mengunjungi lebih dahulu batu samara, guna berdoa yang dilengkapi dengan pembakaran dupa.

Setelah itu, pesta telah dimulai yang ditandai dengan penabuhan ganrang pakanjara (gendang). Pun juku kemudian pergi ke muara sungai untuk menebar jala, yang diiringi dengan teriakan “Pajuku’mi tauwa” (kita telah menjadi nelayan). Ikan hasil tangkapannya kemudian dikirim ke pinati di Balla’ Lompoa  Gantarangkeke, sebagai tanda dan pemberitahuan bahwa pesta pajukukang telah dimulai.

Tanda lain yang menunjukkan adanya pesta Pajukukang di tempat itu, berupa bendera merah putih yang dipasang di depan bangunan batu samara (batu keramat) dan spanduk bertuliskan:”Tabe’ Sipakatauki” (Permisi, kita semua bersaudara). Acara kalau ri pajukukang yang bertempat di Nipa-nipa dan Korong Batu, dahulu digunakan sebagai tempat bagi raja Gantarangkeke beserta kepala daerahnya untuk makan-makan ikan hasil tangkapan.

Batu samara tersebut kini dibangun seperti sebuah kuburan, hingga banyak orang yang meyakini bahwa tempat tersebut adalah kuburan. Batu samara tersebut dibentuk seperti nisan dan dikelilingi oleh sebuah bangunan seluas 3 x 3 meter. Di luar bangunan dikelilingi dengan pagar bambu.

 Ketika saya menyaksikan acara tersebut pada pagi hari, Selasa, 10 Juni 2014, banyak orang yang antri untuk masuk ke bangunan tersebut. Beberapa orang yang saa wawancarai, meyakini bahwa bangunan tersebut adalah kuburan keramat. Namun, ketika saya menanyakan apakah mereka tahu siapa yang dikubur di tempat itu, mereka tidak ada yang tahu.

Ketika saya masuk ke tempat tersebut, menyaksikan beberapa orang tua yang menyambut orang yang datang untuk kemudian didoakan. Pengunjung yang datang, sebelum beranjak memberikan sejumlah uang.

Ketika saya bertanya kepada Dg. Lano, (orang yang mendoakan tamu yang datang), tentang siapakah yang dikubur di tempat tersebut, beliau menjawab, ini bukan kuburan, tapi sebuah batu yang menjadi jejak tomanurung yang pernah singgah di tempat tersebut.

Dalam versi lain, yang saya dapatkan dari salah seorang pengunjung, tampaknya paham dengan tradisi ini mengatakan, bahwa batu samara yang dikeramatkan dan dibentuk seperti kuburan yang ada di Nipa-nipa dan Korong Batu, merupakan jejak batu tempat berpijak sang putri Gantarangkeke.

Lokasi batu tersebut, berada di atas ketinggian, menjadi tempat memantau sang putri ke arah laut, guna melihat apakah kapal suaminya yang ditunggu telah datang atau belum.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *