Uang Panai’: Antara Tuntutan dan Tuntunan

“Berapa uang panai’-nya?” Pertanyaan itu biasa diajukan bila ada kabar ada anggota keluarga yang dilamar atau melamar, demikian pula kalimat, “Banyaknya uang panai’-nya.” Atau, “Kenapa sedikit sekali uang panai’-nya? Bahkan kadang terjadi, “Tidak jadi  menikah karena tidak mampu uang panai’-nya.”

Lalu apa itu uang panai’? Uang panai’ dimaknai sebagai pemberian sejumlah uang dan materi lainnya yang diserahkan pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan sebagai bentuk penghargaan untuk prosesi pesta pernikahan.

Uang panai’ dalam pernikahan masyarakat Bantaeng  memiliki kedudukan yang mulia, sehingga dalam beberapa kali sempat viral. Beberapa gadis di Bantaeng dilamar dengan uang panai’ tinggi, ada yang 100 juta, 200 juta, 500 juta, plus rumah, tanah, kendaraan, dan lain-lain.

Uang panai’ merupakan hal yang wajib dibicarakan dari awal dalam prosesi lamaran masyarakat Bantaeng. Terkadang menyita waktu yang lama. Setelah perwakilan calon mempelai laki-laki mengajukan uang panai’ yang mereka sanggupi, maka perwakilan mempelai perempuan akan mengajukan uang panai’ yang harus mereka terima, dan kemudian terjadilah tawar menawar sampai bertemu kata sepakat.

Pihak keluarga perempuan dapat mematok uang panai’ yang tinggi, merupakan suatu kehormatan tersendiri. Kehormatan yang dimaksud adalah penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang ingin dinikahinya, dengan memberikan pesta yang megah, untuk pernikahannya melalui uang panai’ tersebut. Sedang bagi  keluarga calon mempelai laki-laki, membawa uang panai’ yang tinggi, sebentuk kehormatan dan kebanggaan keluarga.

Tinggi rendahnya jumlah uang panai’ dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, faktor ekonomi. Jika salah satu pihak—baik  itu pihak dari laki-laki maupun pihak perempuan—  berasal dari keluarga ekonomi mapan, maka jumlah uang panai’ yang diminta pun bisa sangat tinggi.

Kedua, pendidikan dan pekerjaan. Menterengnya pekerjaan dan tingginya pendidikan salah satu pihak bisa memengaruhi uang panai’. Ketiga, keturunan. Orang yang dianggap sebagai keturunan bangsawan (karaeng) biasanya mematok tinggi uang panai’.

Keempat, strata sosial. Kelima, gelar hajja, seorang perempuan yang telah menunaikan ibadah haji, akan turut berdampak pada tingginya uang panai’ yang diminta keluarganya.

Keenam, status pernikahan. Perempuan yang pernah menikah (janda),  dan belum pernah nikah (gadis)  tidak luput dijadikan sebagai tolak ukur tingginya uang panai’. Biasanya status belum pernah nikah (gadis) lebih banyak diberikan uang panai’ daripada yang berstatus pernah nikah (janda), namun tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya.

Uang panai’ yang diposisikan sebagai kehormatan, kadang membuat orang tua yang memiliki anak laki-laki laki-laki memaksakan diri, menjual atau menggadaikan kebun dan sawah, meminjam uang demi memenuhi uang panai’ yang diminta keluarga perempuan, karena merasa malu kalau tidak memenuhinya.

Walau besarnya uang panai’ dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas, tapi ada standar umum pada setiap kampung, ada wilayah standar umumnya kisaran 30 juta, 50 juta, dan ada 70 juta.

Besaran jumlah uang panai’ berubah seiring perkembangan ekonomi. Salah satu unsur yang jadi ukuran menentukan jumlah uang panai’ adalah harga-harga kebutuhan pokok, seperti beras, harga sapi, kuda, termasuk biaya sewa pakaian pengantin, pelaminan, sewa hiburan, dan lain-lain.

Pada tahun-tahun 90-an, uang panai’, standar umumnya masih  10 jutaan, tahun 2000-an sudah 20 jutaan, sekarang ini standar umumnya sudah 50 jutaan. Sehingga ada ungkapan lucu, “Uang panai’ mengikuti naiknya BBM”.

Lalu, apakah uang panai’ adalah juga mahar? Secara sederhana, uang panai’ adalah pemberian uang dari pihak mempelai lelaki kepada mempelai perempuan yang diperuntukkan untuk membiayai resepsi pernikahan.

Sedangkan mahar adalah persembahan lelaki kepada perempuan sebagai pemberian wajib, untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang antara keduanya. Mahar dapat berbentuk  uang  tunai, kebun, sawah, kendaraan, atau emas.

Dalam tradisi orang Bantaeng, mahar biasanya dalam bentuk tanah, entah kebun atau sawah. Biasanya pihak keluarga mempelai perempuan tidak terlalu mempersulit soal jumlahnya. Hukum uang panai’ dalam Islam adalah mubah, sedangkan mahar adalah wajib.

Dari segi penggunaannya pun berbeda. Uang panai’ dipegang oleh orangtua mempelai perempuan, murni digunakan untuk membiayai prosesi pernikahan anaknya.

Adapun mahar akan menjadi hak calon pengantin perempuan dan jadi syarat sah pernikahan, secara hukum agama dan negara. Maka jelaslah bahwa uang panai’ tidak sama dengan mahar.

Keberadaan uang panai’ dalam pernikahan, memberikan dampak positif. Pertama, pernikahan  sangat dihargai dan dan dijaga. Orangtua yang memiliki anak laki-laki akan berusaha keras mengumpulkan uang untuk dijadikan uang panai’. Bahkan, kadang menunda memperbaiki rumah, naik haji, beli mobil, dan lain-lain, sebelum mengawinkan anak laki-lakinya.  Itulah sebabnya, bila selesai panen hasil perkebunan dan pertanian, biasanya akan ramai pernikahan.

Kedua, memberikan motivasi berusaha dan bekerja. Seorang laki-laki yang tidak memiliki orang tua kaya, atau sudah yatim dan belum kawin akan termotivasi untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk dijadikan uang panai, mereka akan bekerja keras bahkan kadang merantau ke luar negeri.

Ketiga, mencegah perceraian, karena adanya uang panai yang tinggi, kadang menjadi salah satu  faktor pencegah perceraian, seorang suami yang bermasalah dengan istrinya, akan berpikir untuk mentalak istrinya karena nanti kalau mau kawin lagi harus mengumpulkan kembali uang untuk dijadikan uang panai’, dan biasanya keluarganya juga akan memberikan nasehat demikian.

Keempat, uang panai’ adalah simbol penghargaan terhadap perempuan Bantaeng. Bagi orang tua perempuan, tidak segampang itu saja menerima lamaran seorang laki-laki. Salah satu syaratnya dengan membawa uang panai’ yang sepadan dengan derajat keturunannya, status sosialnya, pekerjaannya, dan pendidikan anaknya.

Jika ada sisi positifnya, maka uang panai’ juga punya sisi negatifnya. Pertama, batalnya pernikahan. Tidak bertemunya kata sepakat dua keluarga mengenai jumlah uang panai’ kadang menyebabkan satu pernikahan  tidak jadi dilaksanakan. Biasanya pihak laki-laki sudah tidak sanggup menambah jumlahnya, sementara pihak perempuan tidak mau mengurangi jumlah yang ditawarkan. Ironisnya ada kasus hanya berbeda 500 ribu saja, pernikahannya batal.

Kedua, hubungan antara kedua keluarga bisa menjadi renggang. Batalnya pernikahan  menyebabkan kedua keluarga besar tidak harmonis lagi. Bahkan, sampai bermusuhan walaupun ada hubungan keluarga.

Ketiga, laki-laki jadi bujang lapuk atau terlambat kawin karena tidak memiliki kemampuan uang panai’. Sedang anak gadis menjadi perawan tua atau terlambat kawin. Gadis yang berasal dari keluarga terpandang, kaya, bangsawan, pejabat, berpendidikan tinggi, membikin orang segan melamarnya, khawatir uang panai’-nya tinggi.

Keempat, silariang. Lelaki dan perempuan bersepakat memilih jalan silariang (kawin lari), atau nilariang (dibawa lari), laki-laki memaksa perempuan. Ironisnya, ada pula kasus karena uang panai’ ditolak dan pernikahan batal, maka dibujuk rayulah perempuan—apalagi kalau sudah pacaran—untuk melakukan hubungan seksual di luar nikah hingga hamil, sehingga akhirnya secara terpaksa mereka akan dinikahkan.

Kelima, uang panai’ ditolak dukun bertindak, ini juga kadang terjadi karena pernikahannya batal. Pihak si laki-laki bertindak diluar kewajaran dengan bermain dukun sampai doti.

Ketujuh, bunuh diri, ada kasus pada salah satu daerah, karena pernikahannya batal akibat uang panai’ calon suaminya ditolaknya keluarganya, si perempuan sampai nekad bunuh diri.

Seiring dengan dengan adanya pergesaran realitas di tengah masyarakat akan nilai-nilai yang tarkandung dalam tradisi uang panai’, yang semakin berimplikasi negatif dan tidak terkendali lagi, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan telah mengeluarkan fatwa nomor 02 Tahun 2022 tentang uang panai’, yang menetapkan bahwa uang panai’ hukumnya mubah selama tidak menyalahi prinsip syariah.

Prinsip syariah dalam uang panai’ adalah mempermudah pernikahan dan tidak memberatkan bagi laki-laki, memuliakan perempuan, jujur dan tidak dilakukan secara manipulatif, jumlahnya dikondisikan secara wajar, dan sebagai bentuk tolong menolong dalam rangka memyambung silaturahmi.

MUI Sulawesi Selatan juga merekomendasikan untuk keberkahan uang panai’, diimbau untuk mengeluarkan sebagian infaqnya kepada orang yang berhak melalui lembaga resmi. Uang panai’ tidak boleh menjadi penghalang prosesi pernikahan dan hendaklah disepakati secara kekeluargaan, serta menghindari sikap hedonis.

Kredit gambar: washilah.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *