Pada mulanya, saya ingin menulis dengan judul “Makhluk Individualis dan Kehidupan Demokrasi”. Hal ini sebagai refleksi dan sekaligus sebagai bentuk “perlawanan batiniah” saya atas fenomena dan cuaca ekstrem kehidupan demokrasi Indonesia. Bukan hanya saya yang memberikan penilaian suram atau buruk seperti itu. Para pakar, pengamat, ilmuwan pun telah banyak membangun tesis—bukan sekadar hipotesis—yang pada substansinya menampakkan keprihatinannya terhadap kehidupan demokrasi Indonesia.
Dalam sebuah buku hasil refleksi 100 ilmuwan sosial politik, kita bisa memahami keprihatinan tersebut, bahkan judulnya pun sangat menyayat hati: Demokrasi Tanpa Demos. Tesis lainnya ada yang menyebut matinya demokrasi, dan ada pula yang menegaskan demokrasi mengalami kemunduran, Thomas Power, seorang pengajar Universitas Sidney yang menjadi editor buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi (2021), menilai bahwa “situasi demokrasi di Indonesia sedang mengalami regresi”. Saya pun membuat hipotesis—tetapi sepertinya bisa menjadi tesis—“Demokrasi mati di tangan para penikmatnya sendiri”.
Tulisan saya ini, sedang tidak menawarkan harapan untuk menggantikan sistem demokrasi dengan teokrasi atau khilafah di mana Islamisme menjadi basis, spirit, dan nilai perjuangannnya. Islam yang saya maksudkan di sini dan harus dibumikan, bukanlah Islam sebagai politik. Sebagaimana Bassam Tibi (2016) menjelaskan perbedaan—dan bahkan menegaskan tidak banyak orang yang tahu atau mau membedakan—“Islam” dan “Islamisme” (Islam sebagai politik).
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, itu sudah tepat. Tidak perlu ada upaya masif dengan menggunakan dalil keburukan atas fenomena yang telah terjadi untuk menggantikannya. Sebagaimana pemahaman saya dari Francis Fukuyama, tepatnya dari buku karyanya, The End of History and The Last Man (Edisi Baru, 2004), saya menyimpulkan di antara yang buruk, maka sistem “demokrasi”-lah yang terbaik. Jika hari ini kehidupan demokrasi menampilkan banyak hal buruk, suram, dan/atau negatif, maka itu disebabkan karena faktor-faktor demokrasi itu sendiri—negara hukum, masyarakat madani, dan infrastruktur politik—belum dijalankan dengan baik.
Mengapa faktor-faktor demokrasi itu tidak berjalan dengan baik? Jika saya ingin memilih satu diksi jawaban sederhana atas persoalan tersebut, maka tibalah pada satu kesimpulan: “Indonesia masih banyak dihuni oleh Manusia-Individualis”. Hari ini, kehidupan demokrasi Indonesia, terutama dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2024, kita bisa menemukan manusia individualis tersebut.
Ketika politk uang menguasai jagat perpolitikan Indonesia, para pelakunya itu adalah manusia invidualis. Mereka, para pelaku baik si pemberi maupun si penerima, adalah orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri—lebih jauh untuk keluarga dan golongannya. Mereka tidak memikirkan nasib bangsa dan negara ini. Apatah lagi masa depan Indonesia. Padahal politik uang itu adalah “bom waktu” bagi kehancuran bangsa—sebagaimana tulisan saya “Politik Uang Bom Waktu Kehancuran Bangsa”.
Ketika ada oknum pejabat negara terlibat, memanipulasi, mengintervensi, menggunakan kekuasaan tanpa nalar sehat dan hati nurani, hanya demi kepentingan, kemenangan, dan kekuasaan dirinya, keluarga, dan golongannya, itu adalah manusia individualis. Mereka para oknum tersebut merusak tatanan demokrasi, menghancurkan bangunan, serta marwah hukum dan institusi karena mereka hanya manusia individualis. Yang hanya memikirkan untuk dirinya sendiri. Untuk memenuhi nafsu dan hasrat destruktif yang terus bersemayam dalam dirinya, sehingga hukum pun dihadirkan bukan mengendalikan kekuasaan tetapi untuk melanggengkan kekuasaan. Di tengah situasi ini, para pelakunya omong kosong dan paradoks jika disebut “negarawan”.
Manusia individualis ini sepertinya—sebagaimana tesis Yudi Latif—hanya mengedepankan The love of power (cinta kekuasaan), sehingga nilai-nilai Pancasila pun sulit tumbuh subur. Karena itu, sila “ketuhanan” tidak mampu menjadi fundamen moral dan etika atas dinamika politik dan demokrasi yang terjadi dan sedang berlangsung. Kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial seringkali hanya menjadi narasi indah, pemanis bibir di atas mimbar-mimbar politik.
Ketika ada netizen membangun narasi yang seakan-akan tidak peduli dengan dinamika politik, pemilu, dan demokrasi karena menurutnya, siapa pun nanti yang akan menduduki singgasana politik, dirinya tetap hanya akan menjadi seperti “itu-itu” saja. Ini pun bagi saya adalah produk dari manusia individualis, meskipun realitas yang sedang berbicara dalam periode pemilu ke pemilu atau dari dekade ke dekade dinamika sosial, bangsa dan negara, itu menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Kita harus terus bergerak, tidak boleh pasrah dengan keadaan.
Sekali lagi, jika kita mau merenungkan dan mau mengakui secara jujur—terlepas dari banyaknya teori berbasis pada pemahaman dan kesadaran hukum kausalitas yang mengungkapkan dan menawarkan langkah solutif dari berbagai problematika kehidupan berbangsa dan bernegara—penyebabnya atau minimal salah satunya, diri kita seringkali masih menjadi sebagai manusia individualis. Jika pun menjadi makhluk sosial,—sebagai dimensi lain dalam diri—kita lebih cenderung memaknai dan menerapkannya dalam makna yang sangat sempit, hanya sebatas kehidupan dan interaksi sosial masyarakat, dan keluarga/kerabat. Belum mampu memaknai dan mengimplementasikannya dalam ruang lingkup yang lebih besar: bangsa dan negara, bahkan kehidupan global.
Atas dasar itulah, saya bermaksud untuk menawarkan agar kiranya kita semua—khususnya umat Islam—membumikan ajaran Islam dalam kehidupan demokrasi. Tidak perlu berjuang menegakkan dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sebagaimana saya terinspirasi dari cara pandang Buya Ahmad Syafii Maarif, cukup kita berjuang melalui “dakwah kebangsaan” untuk membumikan ajaran (baca: tepatnya nilai-nilai) Islam dalam konteks kehidupan demokrasi dan dinamika politik yang berlangsung di Indonesia.
Islam, meskipun yang saya maksud di sini bukanlah Islamisme (Islam sebagai politik) sebagaimana pandangan Tibi, itu bisa menutupi kekurangan baik yang ditawarkan oleh sistem demokrasi maupun sosialisme-komunisme. Islam mampu membawa pada titik keseimbangan antara kecendrungan manusia untuk menjadi makhluk individualis sekaligus tetap tidak mengabaikan nilai-nilai dan orientasi kehidupan sosial-kolektif.
Puluhan tahun yang lalu saya memiliki artikel karya bersama para pemikir Ikatan Remaja Muhammadiyah Sulawesi Selatan—meskipun artikel tersebut telah hilang. Namun, ada satu yang teringat dengan sangat baik dari muatan atau substansi dari isinya. Yaitu, setelah ditelusuri ternyata al-Qur’an kandungannya jauh lebih banyak yang beriorientasi pada atau memihak pada kepentingan kehidupan sosial ketimbang pribadi atau personal. Bahkan ditegaskan ketika dua jenis ibadah mahdhoh dan ibadah sosial berada dalam ruang dan waktu yang sama dan kita diminta harus memilih satu di antaranya, maka Allah melalui berbagai firmannya dalam al-Qur’an menuntun kita untuk mengutamakan ibadah sosial.
Contoh sederhana terkait penegasan di atas, di mana orientasi atau kepentingan sosial atau kolektif lebih diutamakan, adalah ketika diri kita sedang melaksanakan shalat wajib, lalu tiba-tiba terjadi kondisi darurat seperti kebakaran, maka kita diperbolehkan untuk menghentikannya, dan nanti situasi aman barulah melaksanakannya kembali. Contoh lain, bagi umat Islam dilarang makan babi, tetapi jika darurat maka tidak ada dosa baginya.
Yang saya baca hari ini dari ummetro.ac.id, Kesalehan Individual dan Kesalehan Sosial karya Dr. Mukhtar Hadi, M.Si (Anggota BPH Universitas Muhammadiyah Metro), memperkuat ingatan saya di atas terkait artikel yang pernah saya miliki dan sudah lama hilang. Yang pada substansinya pun menegaskan bahwa kandungan al-Qur’an lebih banyak berorientasi pada ibadah sosial—tentunya untuk melahirkan kesalehan sosial.
Jika para pejabat negara, aparat, atau penyelenggara negara tanpa kecuali penyelenggara pemilu, bukan hanya berupaya menjadikan dirinya untuk mencapai kesalahan individual, tetapi termasuk pula adalah mengalami kesalehan sosial, maka dinamika politik, pemilu, dan kehidupan demokrasi akan berlangsung sebagaimana spirit awalnya, sebagaimana defenisi, pemaknaan, dan implementasi demokrasi yang diharapkan oleh Abraham Lincoln. Yang pada poros dan core values nya adalah berada pada orientasi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Berapa banyak pejabat negara, aparat, penyelenggara negara dan tanpa kecuali penyelenggara pemilu, yang (minimal) pernah melakukan umroh, melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa, atau yang namanya sudah dilabeli dengan “Haji, disingkat H.”, tetapi tidak sedikit juga di antara mereka menjadi oknum pelaku keburukan yang bukan hanya merugikan dan merusak kepentingan pribadi tertentu, tetapi merugikan dan merusak tatanan bangsa dan negara. Tingkat korupsi masih sangat tinggi, tentunya ini paradoks dari ibadah dan kesalehan individualnya. Buya Syafii pun pernah menyindir hal tersebut, di mana jumlah jamaah haji setiap tahunnya tidak berbanding lurus dengan perbaikan bangsa dan negara.
Padahal, salah satunya bisa dipahami dengan baik dari buku ESQ karya Ary Ginanjar Agustian, salat bisa membangun karakter bangsa, tentunya termasuk dalam implementasi tata kelola negara. Puasa intinya adalah pengendalian diri, artinya dengna berpuasa kita mampu mengendalikan diri terutama untuk dalam konteks bangsa dan negara, tidak menjadi perusak atau minimal tidak mengingkari sumpah dan/atau janji jabatannya.
Zakat sebagai salah satu rukun Islam, spiritnya adalah spirit kolaborasi atau dalam konteks bangsa dan negara Indonesia, tentunya bisa memperkuat sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Bukan justru sebaliknya menguras kekayaan negara dan menimbun untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya. Di akhir tulisan ini, saya teringat ajaran seorang Bapak Reformasi Indonesia, Amin Rais—meskipun bagi sebagian orang dirinya sering menjadi sosok yang kontroversial—tentang vitalitas “Tauhid sosial”, apalagi hari ini dalam dunia birokrasi pun banyak yang mengalami “Syirik sosial”. Harta, jabatan, dan kekuasaan dipertuhankan, sehingga agama, moralitas, dan etika dilupakan.
Mari kita membangun Kesalehan-Sosial, agar tidak menjadi pelaku Kesalahan-Sosial.
Kredit gambar: quera.com

Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, dan Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng.
Leave a Reply