Suatu waktu, saya sowan ke rumah dosen favorit di Sidoarjo, sambil menikmati rujak buah yang disuguhkan setelah saya tiba. Kami bercerita banyak hal, mulai dari hal remeh temeh di kelas kuliah, sampai pengalaman hidupnya yang membuat saya berdecak kagum. Kadang serius kadang juga saya tertawa dibuatnya. Tapi ada satu inti cerita berharga yang ia ceritakan, membuat saya merefleksikan diri, bahwa hidup itu adalah pilihan.
Hidup itu mesti memilih dari sekian banyak menu pengalaman, dari setiap banyak katalog peristiwa. Seseorang jika tidak menyukai sesuatu, maka tidak ada kewajiban bagi ia, untuk memilihnya. “Jika tidak berkenan, maka berpalinglah,” pesannya.
Setiap orang berhak memilih apa yang ia sukai, dan itu yang membuat saya berpikir sejenak. Jika ada hal yang membuat saya tidak nyaman, maka saya mesti berani menyatakan sikap, “Harus berpaling…harus berpaling…harus berpaling.”
Begitu saya batinkan berulang-ulang, seolah itu adalah mantra yang membuat saya berani untuk mengambil sikap. Ya, hidup ini adalah suguhan pengalaman, peristiwa, pelajaran. Ia ibarat katalog kehidupan, dan kita bisa memilih di antara satu menunya, yang merupakan takdir cerita kita.
Arti “katalog” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah daftar koleksi sebuah pusat dokumentasi, yang berisi informasi khusus, yang disusun secara berurutan. Seperti nama, jenis, lokasi atau penyimpanan.
Kini, ada banyak jenis yang disediakan pada katalog. Guna memudahkan konsumen mencari dan memilah, sesukanya. Misal produk-produk yang memasarkan barang atau jualan yang beraneka ragam, seperti disediakan pada katalog Sophie Paris Martin, Elektronik Carrefour, Wardah, dan lain-lain.
Lalu, apa sih katalog kehidupan itu?
Ketika menyandang status mahasiswa di Surabaya. Rasa tak menentu, kalang kabut, sungguh saya rasakan. Berbagai macam hal baru saya temui: budaya, ras, bahasa, dan lain-lain.
Sadar akan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu. Sabang sampai Merauke, bermacam karakter individu pun beragam. Sungguh kaya kehidupan ini dan manusia-manusia di dalamnya.
Pantaslah Abraham Maslow dengan teori kepribadiannya mengatakan, manusia adalah makhluk yang unik. Beragam karakter dan pribadi seseorang. Dikuatkan oleh Carl Gustav Jung, seorang psikiater dan ahli psikoanalisis asal Swiss, dengan teori introver ekstrovernya. Introver, biasanya memiliki kepribadian melankolis dan plegmatis. Sementara ekstrover, berkepribadian sanguinis dan koleris.
Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus, How to Understand Others by Understanding Yourself, mengatakan ada empat tipe individu. Pertama, koleris. Dia yang tegas, berjiwa pemimpin, kemauan keras. Di sisi lain, cenderung lekas marah dan sulit memaafkan.
Kedua, sanguinis. Orangnya penuh antusias, ramah, banyak bicara, menyenangkan. Tapi suasana hatinya dapat berubah-ubah, dan cenderung tidak disiplin, tidak produktif, egois, membesar besarkan masalah.
Ketiga, melankolis. Memiliki ketekunan, disiplin, rela berkorban, berbakat, dan perfeksionis, pendiam, suka mengamati. Namun jenis kepribadian ini, mengerjakan sesuatu bisa dalam waktu lama, pemurung, berpusat pada diri sendiri, berpikir negatif, perasa, dan kurang bermasyarakat.
Keempat, plegmatis. Dia pendengar baik, konsisten, rendah hati, lebih suka damai, tenang. Namun biasa bersifat egois, penakut, suka menunda, tidak punya motivasi, dan tidak tegas.
Sebagai seorang santri yang megabdikan diri sebagai pembina di pesantren, saya banyak menjumpai jenis kepribadian. Terlebih lagi santri yang berasal dari luar daerah. Dipertemukan dan hidup dalam satu atap. Aneh bagi pemula. Bagaimana mereka yang bertemu dengan orang yang sefrekuensi, terlebih lagi yang tidak sefrekuensi.
Saya pernah menghadapi klien, si introver adalah dia yang sudah mukim lama di pondok, sekamar berdua. Kemudian datanglah si ekstrover yang dipilih untuk bergabung di kamarnya. Baik-baik saja, awalnya.
Namun, setelah beberapa hari, muncullah sikap dan sifat yang si introver tidak menerima. Akhirnya diam-diaman. Lama. Lalu, teman satu yang setia menemani si introver, menjadi penengah. Tidak berpihak ataupun membela temannya yang sudah lama membersamai. Tak ada maksud, hanya ingin mendamaikan.
Damai, seketika. Ternyata masih. Si penengah sudah memberikan solusi, untuk pisah kamar saja daripada berlarut. Tak ada angin segar. Hingga si introver memutuskan untuk pulang tanpa kembali.
Saya yang sedang mendengarkan cerita runtut si penengah, paham di posisinya. Dia yang bermaksud baik, namun serba salah. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa, perbedaan itu pasti. Ketidak-cocokan dengan pribadi seseorang adalah hal yang lumrah, tapi yang terpenting, bagimana kita menyikapi dan memahami satu sama lain. “Cari persamaan, maka akan baik-baik saja,” tutur saya. Jika tidak, maka berpalinglah.
Inilah katalog kehidupan, jika katalog barang produk, mendeskripsikan tentang produk agar konsumen tidak salah membeli, maka katalog kehidupan merinci manusia berdasar sifat dan karakternya yang beragam. Supaya apa? Agar manusia bisa memahami satu sama lain, tidak memperlakukan orang secara sama. Ingat, sama tak selamanya adil.
Menyeimbangkan dan memosisikan diri dengan orang lain adalah memahami perbedaan akan kekuatan dan kelemahan, yang dimiliki setiap individu. Karena kepribadian seseorang bisa bermacam-macam tergantung lingkungan, dan situasi yang dihadapi.
Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki manusia, tentunya sebuah kesempurnaan sebagai makhluk. Namun, terkadang orang di sekitar kita tidak sadar akan hal itu. Kekurangan dipandang sebuah aib yang terstereotipe. Begitu pun sebaliknya. Padahal, karakter atau sifat bisalah berubah.
Salah satu teman sekelas kuliah saya dulu, dengan kepribadian ekstrover, memiliki tingkat tempramen tinggi, susah diajak kompromi, blak-blakan, dan sifat lain yang kadang orang risih, terganggu dengannya. Kok bisa jadi lulusan terbaik di kampus, dengan segudang prestasinya? Bisa ke Belanda, dapat beasiswa S1 dan S2, lulus tepat waktu, menjadi asisten dosen sebelum dinobatkan magisternya, punya karya tulis yang sudah terbit, menjadi editor di beberapa tulisan rekannya, dan beberapa kemampuan kesenian dimiliki.
Dari sini, saya berpikir sejenak, hingga berimajinasi tak karu-karuan. Orang seperti dia, kok bisa? Padahal, jika ditelesuri, aib-aib sedang melumurinya. Jujur, saya tidak suka dirinya. Namun, sisi-sisi baik pada dirinya, membuat saya terpana. Di balik kekurangan seseorang, pasti ada segudang kelebihannya. Sehingga, jika tidak berkenan, maka berpalinglah! Berpaling dari satu ke yang lainnya, laiknya hijrah, tapi bukan cinta.
Begitulah uniknya manusia. Sehingga dalam katalog kehidupan, jika tidak berkenan, maka berpalinglah! Jika kita tidak suka dengan lambenya, maka lihatlah senyumnya yang manis. Jika tidak suka matanya, lihatlah wajahnya yang meneduhkan, jika tidak suka hidungnya, lihatlah alisnya yang bagaikan semut berbaris indah. Dengan katalog kehidupan, kita akan lebih bijak, memahami perbedaan, saling memanusiakan, saling mengasihi, dan saling melengkapi.
Kredit gambar: Freepik.com

Lahir di Bantaeng, 03 Desember 1996. Alumni Kelas Menulis Esai Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan Rumah Baca Panrita Nurung Bantaeng. Kini, mengajar di Pondok Pesantren As’adiyah Dapoko Bantaeng.
Leave a Reply