Baju merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, sebagai kebutuhan sandang. Disukai bahkan dicintai manusia. Baju berfungsi melindungi tubuh dan estetika manusia. Fungsi utama baju, menutupi kekurangan dan atau aurat manusia.Tidak sedikit manusia mengoleksi baju, sebentuk kesenangan dan kebanggaan diri. Singkatnya, saya dapat tegaskan, manusia tidak akan mampu hidup damai, tentram, dan bahagia. Tanpa baju, lahiriah manusia terganggu.
Sebagaimana baju, cinta pun serupa kebutuhan pokok manusia. Cinta merupakan kebutuhan kalbu atau batin manusia. Tanpa cinta, manusia tidak akan mampu hidup damai, tenang, tentram dan bahagia. Buktinya manusia sangat berharap untuk dicintai dan sangat ingin mencintai. Ia sangat ingin memiliki baju yang sesuai dan pas dengan tubuhnya. Sehingga, menyenangkan pandangan matanya dan mata orang lain.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa cinta dan baju memiliki kesamaan, seperti telah diuraikan di atas. Kesamaan yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan, baik baju maupun cinta, sama-sama tidak dapat dipaksakan. Baik baju maupun cinta, jika dipaksakan, maka dapat menghadirkan ketidaknyamanan, bahaya dan bahkan kerusakan.
Baju yang dipaksakan tidak akan mampu menyenangkan tubuh manusia. Sebaliknya, akan menyusahkan sekaligus menyakiti tubuh manusia. Juga dapat merusak pandangan mata yang melihatnya. Cinta pun demikian, jika dipaksakan, bukannya menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati. Dapat membuat hati menjadi gelisah, dipenuhi kekhawatiran, dan ketakutan. Bahkan, bisa menghadirkan kebencian dan membahayakan orang mencintai dan yang dicintai.
Sejatinya, seseorang wajib berhati-hati memilih landasan cinta, begitu pula obyek yang dicintainya. Orang yang keliru mencintai karena landasan cinta yang batil atau keliru memilih obyek cinta, pasti dapat mengotori dan merusak hati.
Hati yang kotor dan telah rusak serta mati karena cinta palsu dan batil, sangat sulit untuk damai, tentram, tenang, gembira, dan bahagia. Sebagaimana seseorang juga patut hati-hati memilih baju, jangan sampai tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan tubuh. Akibatnya, tubuh tidak terlindungi oleh baju, tidak nyaman dan tidak indah dilihat. Baju disfungsi menutup kekurangan tubuh yang menjadi aurat manusia.
Mengapa saya menekankan perlunya kehati-hatian terkait dengan cinta dan bercinta? Sebab, kenyataan menunjukkan, tidak sedikit manusia sengsara, rusak, dan menderita karena cinta. Meskipun banyak juga manusia yang bahagia, gembira, sukses, dan berhasil karena cinta.
Memang cinta dapat berakhir dan berujung pada dua muara yang kontra produktif. Ujung cinta yang pertama: kehancuran. Sedang akhir cinta yang kedua: kemenangan. Tergantung cinta itu dipengaruhi dan dibangun oleh landasan dan obyek apa yang dicintai.
Cinta yang berakhir pada kerugian, kesengsaraan dan kehancuran abadi adalah cinta yang membutakan mata, menulikan telinga, dan membisukan lisan, serta mematikan akal. Cinta seperti ini sungguh menggelisahkan hati. Membuat hati galau dan tersiksa. Orang yang mencintai dengan model cinta seperti ini, sungguh telah diperbudak oleh cinta alias bucin (budak cinta).
Model pucuk cinta pertama, hadir dan dibangun dengan landasan hawa nafsu. Obyek yang dicintainya pun sesuatu yang bersifat fisikal-material, perhiasan dunia. Seperti kecantikan dan kegagahan seseorang atau sesuatu; kekayaan dan status sosial tinggi dan dianggap mulia.
Kekuatan cinta yang berlandaskan hawa nafsu, sangat rapuh dan tidak setia. Cintanya mudah pudar, pupus dan akhirnya menghilang, seiring dengan berubah, pudar dan hilangnya faktor-faktor kehadiran cintanya terhadap obyek yang dicintainya. Misalnya, obyek yang dicintainya sudah tidak cantik dan atau gagah lagi; sudah tua, tidak menggairahkan lagi; jatuh miskin dan tidak menjanjikan lagi, sudah tidak dapat diandalkan. Status sosial yang tinggi telah berakhir dan tidak menjadi pejabat lagi. Dalam kondisi seperti itu, cinta pun mati dan hilang tanpa bekas.
Gambaran sifat cinta di atas, tidak berbeda dengan perlakukan seseorang kepada baju yang dipakainya. Apabila bajunya masih baru dan bagus, sangat disayangi, senang dipakai ke mana-mana. Sebaliknya, kalau baju telah pudar warnanya, sudah tua, maka tidak diperhatikan lagi. Lebih senang diparkir di lemari hingga usang dan hancur sendiri.
Fungsi baju yang hanya dipakai untuk tujuan estetika dan keindahan semata, dapat dipastikan mampu merangsang dan membakar birahi hawa nafsu seseorang yang memandangnya. Baju yang dipakai, tapi difungsi dari tujuan utamanya, sebagai penutup kekurangan dan aurat tubuh yang semestinya disembunyikan, sangat mudah mendatangkan bahaya, kejahatan, dan kerusakan seksualitas.
Cinta karena hawa nafsu, seperti telah diuraikan di muka, sangat mudah terputus, bahkan bisa mati dan menghilang. Seperti perkataan Imam Ali Kw, “Hubungan cinta yang paling cepat terputus adalah hubungan cinta orang-orang jahat.” Begitu pun “Cinta orang kebanyakan itu akan terputus, sebagaimana terputusnya awan dan ia akan lenyap seperti lenyapnya fatamorgana.”
Berbeda dengan cinta yang hadir dan dilandaskan pada akal suci manusia. Yakni cinta lebih bersifat rohani. Cinta yang dibangun dengan kesadaran syariat agama. Cinta berlandaskan akhlak moralitas-religius yang mulia. Cinta yang berlandaskan cinta Allah.
Terkait dengan model cinta yang lahir dari akal suci dan kontra produktif dengan cinta hawa nafsu, menarik bila saya kemukakan ungkapan Imam Ali Kw, “Ada tiga hal yang mendorong lahirnya kecintaan yaitu; pertama, budi pekerti yang baik; kedua, keramahan dan ketiga, kerendahatian (tawadhu).”
Perkataan yang senada dikemukakan oleh seorang imam, keturunan Rasulullah saw, Ja’far Shadiq. Beliau berkata, “Tiga hal yang mendorong kecintaan hadir yaitu; agama, rendah hati, dan kedermawanan.”
Model cinta yang hadir berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Imam Ali Kw. dan Imam Ja’far Shadiq, sebentuk model cinta yang terjaga, terpelihara, dan terbebas dari pengaruh hawa nafsu. Bukan cinta fisikal-material. Bukan cinta yang hadir karena kecantikan dan kegagahan rupa, kekayaan, dan status sosial tinggi. Ini model cinta murni dan sejati. Cinta yang benar, baik, dan indah. Cinta yang tidak pudar, apalagi menghilang dan mati.
Namun, perlu saya tabalkan, meraih cinta yang murni dan sejati, benar, baik, dan indah, bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan sulit mempertahankannya. Dalam konteks ini, Rasulullah saw, pernah bersabda, “Siapa yang jatuh cinta pada sesuatu, tapi dia menyembunyikannya dan menjaga kesucian dirinya hingga akhirnya mati, maka dia terhitung mati syahid.”
Makna atau maksud sabda Rasulullah saw, dijelaskan oleh Imam Ali Kw. dalam satu ungkapannya, “Tidaklah orang yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid, lebih besar pahalanya dari orang yang mampu berbuat (maksiat), tapi ia menahan kesucian dirinya.”
Sabda Rasulullah saw dan uangkapan menantunya, mengisyaratkan makna, seseorang yang mencintai suatu obyek yang dicintainya, tapi ia menahan dirinya, karena ia takut jatuh dalam cinta yang berlandas hawa nafsunya, maka dihitung sebagai pelaku jihad di jalan Allah. Manusia seperti ini, apabila mati demi meraih cinta sejati, yakni cinta yang berlandaskan agama, akhlak mulia, kerendahan hati dan kedermawanan, yang puncaknya adalah meraih cinta Allah, maka ia dikategorikan mati syahid. Mati dalam indahnya persaksian cinta sejati dari Allah Swt.
Terkait dengan cinta kepada dan karena Allah, sebagai puncak cinta sejati, saya ingin mengutip munajat cucu Rasulullah saw, Imam Husain, “Engkaulah yang menghilangkan segala sesuatu dari hati para pencinta-Mu. Dengan begitu, mereka tidak memcintai selain Engkau. Apa yang akan diperoleh orang yang kehilangan Engkau (cinta-Mu)? Dan apa yang akan hilang dari orang yang mendapatkan Engkau (cinta-Mu)? Sungguh merugilah orang yang rela menjadikan yang lain sebagai pengganti-Mu.”
Akhirnya, saya ingin tandaskan, seseorang yang menjadikan kecantikan dan kegagahan parasnya, keindahan, keelokan dan keperkasaan tubuhnya, kekayaan dan status sosial tinggi dan mulia sebagai modal kekutaan untuk ia dicintai dan atau mencintai, sungguh ia telah menjebak dirinya dalam cinta hawa nafsu. Ia menenggelamkan dirinya dalam kebatilan dan kepalsuan cinta. Itulah bentuk nyata dari kejahilan dan kebodohan cinta.
Kredit gambar: NuOnline

Doktor di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an. Dosen di Unhas Makassar dan UIN Alauddin Makassar
Leave a Reply