Salu’ Tujua ri Bajeng

Tahun itu, kemarau berlangsung cukup panjang. Sungai yang berada di dekat kampung kami, sudah mengering. Untuk diciduk pun, sebagai pelepas dahaga, hampir dikata sudah tak ada lagi. Apatah lagi yang akan dipakai berwudu untuk menunaikan ibadah salat. Bahkan keluarga kami, lebih sering menyediakan bahan makanan dengan cara dibakar/dipanggang seperti singkong dan ubi jalar. Sementara kebutuhan untuk minum, ditadah dari air embun pada malam hingga pagi hari.

Siang itu, di sela-sela waktu istirahat, sepulang dari kebun, kami dikejutkan oleh kehadiran sesosok orang tua yang meminta seteguk air, untuk menghilangkan dahaganya. Karena telah menghabiskan waktu untuk melakukan perjalanan jarak jauh.

Entah dari mana asalnya, dia tak menyebutkannya secara jelas. Yang pasti, dalam perjalanannya tersebut, dia tak menemukan penduduk perkampungan yang dilaluinya, bisa memberinya makan dan air minum, terlebih air untuk berwudhu.

Oleh kakek kami, orang tua tersebut dijamu dengan baik, disuguhi singkong bakar dan segelas air. Dan dipersilakan untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

Namun, orang tersebut menolak untuk beristirahat, dia hanya minta diantarkan ke sebuah tempat, yang berjarak sekira lima ratus meter dari rumah kami ini.

Setelah berada di tempat tersebut, dia mengambil sebatang kayu yang tergeletak di dekatnya, lalu ditancapkannya kayu itu di atas tanah. Ketika kayu itu dicabut dari dalam tanah, keluarlah air deras mengikuti terlepasnya kayu itu dari permukaan tanah, dan setelahnya terpancarlah aliran air yang cukup deras.

Sungguh sangat ajaib.

“Sudah Duhur, mari kita mengambil air wudu,” ucap orang itu tanpa memperdulikan keheranan dari raut wajah kakek.

“Air ini adalah hadiah untukmu, untuk keluargamu, anak keturunanmu. Manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya dan untuk menyembah kepada Allah Swt,” ucapnya setelah melaksanakan salat Duhur.

“Mata air ini, tidak akan pernah mati selama dipakai untuk kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah,” lanjutnya.

“Iye, Puang,” jawab kakek singkat sambil mengangguk.

Kisah di atas adalah, cerita umum yang dijumpai ketika berbicara tentang asal muasal Salu’ (selanjutnya kami menyebutnya mata air) Ulu Ere yang ada di Bajeng, Desa Labbo, beserta dengan mata air yang lainnya. Yaitu, mata air Bata-Bataya, mata air Pandang-Pandang, mata air Barania, mata air Salu’ Lompoa, mata air Campagaya, dan mata air Pattiro.

Secara administratif, letak ketujuh mata air ini berada di wilayah pemerintahan Desa Labbo, Kabupaten Bantaeng. Namun, secara historis awalnya memiliki pemerintahan sendiri yang diperintah oleh seorang raja atau karaeng, yang bernama Karaeng Anak Bajeng. Belakangan anak keturunan Karaeng Anak Bajeng, bermigrasi ke wilayah Ereng-Ereng, atau sekarang Kelurahan Ereng-Ereng, serta ke luar kampung karena telah berumah tangga dengan orang dari luar kampung.

Walaupun demikian, ternyata ada pula penduduk Bajeng yang tetap setia tinggal dalam wilayah Kerajaan Bajeng, hingga akhir hayatnya. Meskipun seluruh keluarganya telah memilih tinggal di wilayah pemukiman Ereng-Ereng yang lebih ramai.

Kelurahan Ereng-Ereng sendiri, awalnya merupakan lingkungan Kelurahan Banyorang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Namun, sekitar tahun 90-an, Kelurahan Banyorang dimekarkan, dan Lingkungan Ereng-Ereng, dijadikan wilayah administrasi kelurahan, terbagi atas dua lingkungan, Asaya dan Bonto Bajeng. Meskipun belakangan ini, istilah lingkungan sudah tidak terpakai lagi dalam lingkup kelurahan.

Mata Air Ulu Ere dan keenam mata air yang sudah saya sebutkan di atas, masih berfungsi (mengalirkan air) hingga saat ini. Waima musim kemarau, airnya tetap deras dan dimanfaatkan oleh seluruh penduduk wilayah Kelurahan Ereng-Ereng, dengan bermacam-macam cara/sistem pengelolaan.

Tidak hanya dimanfaatkan sebagai kebutuhan primer (mandi, makan, minum, dan mencuci). Mata air ini pun, sering dimanfaatkan untuk sarana ritual tertentu. Misalnya, saat akan membangun rumah, maka air pertama yang diambil untuk siraman pertama pada saat peletakan batu pertama, adalah air mata air ulu Ere, yang diambil secara langsung pada sumber mata air tesebut.

Sering pula kami menjumpai orang-orang yang datang melepas hajatnya ke mata air ini. Tidak hanya dari masyarakat Ereng-Ereng, bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Bantaeng. Misalnya, Bulukumba, Jeneponto, hingga Kabupaten Gowa. Meskipun umumnya, mereka mengaku masih memiliki pertalian darah dengan Karaeng Anak Bajeng, yang pernah diangkat/dijadikan sebagai raja/kepala pemerintahan di wilayah Bajeng.

Ketujuh mata air ini memiliki nama, berdasarkan cerita yang melingkupinya. Disebut Salu’ Ulu Ere, karena mata air inilah yang kali pertama dihadiahkan oleh lelaki yang bertamu ke Puang Magga (baca kisah di awal tulisan ini). Mata air Pandang-Pandang, karena di sekitar mata air tersebut, tumbuh rimbunan pepohonan pandan wangi.

Mata Air Bata-Bataya, karena mata air ini muncul di sela batu-batu gunung yang tersusun dengan rapi. Mata Air Baraniya, di balik namanya menyimpan unsur mistis. Sebab, konon katanya, yang meminum air dari mata air ini secara langsung, akan memiliki keberanian, untuk menghadapi masalah yang menimpanya.

Mata Air Lompoa, oleh penduduk di sini, menyebutnya Salu’ Lompoa, karena mata air ini adalah mata air yang paling besar di antara mata air yang lainnya.

Sedangkan Mata Air Campagayya, diberi nama demikian sebab pada mata air tersebut tumbuh pohon kayu Campaga atau kayu Cendana. Dan Mata Air Pattiro yang tidak berjauhan jaraknya dengan Campagayya, berada di atas ketinggian dibanding mata air yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Pattiro artinya, tempat yang tinggi dan biasanya dipakai untuk melihat/memantau yang berada di bawahnya atau di sekitarnya .

Terjaganya tujuh mata air ini, tidak terlepas dari ceritera mitos dan mistis yang melingkupinya. Sehingga, tidak satu pun orang atau kelompok masyarakat yang berniat untuk merusaknya.


Comments

One response to “Salu’ Tujua ri Bajeng”

  1. Adam Kurniawan Avatar
    Adam Kurniawan

    inilah salah satu peran penting literasi, merekam dan mengabadikan cerita rakyat agar tetap menjadi memori kolektif sebagai panduan dalam berinteraksi dengan alam dan sesama manusia.
    terima kasih atas tulisannya yang memukau

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *