Allah Swt telah menganugerahkan kepada manusia potensi indrawi dan potensi intelektual. Di antara potensi indrawi adalah telinga, lisan dan mata. Telinga untuk mendengar, lisan untuk berbicara dan mata untuk melihat. Telinga yang disfungsi dinamai tuli. Lisan yang disfungsi dinamai bisu, dan mata yang disfungsi dinamai buta.
Dalam QS. al-Baqarah ayat 18, dikemukakan ketiga indra yang disfungsi. Dimulai dari telinga yang tuli. Di susul dengan lisan yang bisu, dan mata yang buta. Menurut saya, sangat tepat jika ayat 18 tersebut memulai dari telinga yang disfungsi atau tuli, karena jika telinga telah tuli sejak awal maka akibatnya pasti bisu. Berbeda kita buta sejak awal, maka tidak punya efek lanjutan. Dengan kata lain, kebutaannnya sejak awal tidak menjadikannya bisu, selama telinganya terbebas dari ketulian.
Dari sini, saya memahami betapa urgen dan utamanya telinga sebagai indra pendengaran dan sekaligus sebagai potensi intelektual. Demikian pula dengan mata sebagai indra penglihatan dan sekaligus sebagai potensi intelektual. Apabila keduanya disfungsi, maka lisan pun pasti disfungsi alias bisu.
Dikatakan demikian, karena lisan hanya bisa membicarakan apa yang telah didengar oleh telinga dan dilihat oleh mata. Lisan sama sekali disfungsi, jika telinga belum pernah mendengarkan sesuatu dan atau mata belum pernah melihat sesuatu. Suara yang didengar telinga dan obyek yang dilihat mata, menjadi obyek yang dipikirkan oleh potensi intelektual ketiga, biasa disebut dalam Al-Quran dengan istilah fuad dan atau qalb.
Terkait dengan indera manusia dan sekaligus menjadi potensi intelektualnya dikemukakan dalam QS. as-Sajadah ayat 9, QS. al-Mulk ayat 23 dan QS. an-Nahl ayat 78, dan beberapa ayat lainnya. Berikut uraian lebih lanjut terhadap beberapa ayat terkait dengan potensi intelektual tersebut.
Dari ayat-ayat yang terlait dengan indra dan potensi intelektual manusia, saya memahami ada tiga potensi intelektual manusia yakni pendengaran, penglihatan dan fu’ad atau akal budi. Seperti ditunjuk oleh ayat 9 surah ke-32. Berdasarkan ayat 9 ini, dapat ditegaskan bahwa ketiga potensi intelektual tersebut pada hakekatnya adalah potensi ruhani dan bukan potensi indrawi. Keterangan ini dipahami dari penyebutan ketiga potensi intelektual tersebut, setelah peniupan ruh pada tubuh manusia yang telah sempurna proses evolusinya.
Juga dapat dipahami dari penggunaan kata ja’ala pada ayat 9 setelah disebutkan kata peniupan roh. Artinya setelah ada ruh yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia yang tercipta dari tanah, barulah Allah menjadikan potensi-potensi intelektual tersebut. Dengan kata lain, telinga, mata, dan otak yang ada pada tubuh manusia, tidak akan berfungsi tanpa adanya roh yang ditiupkan. Namun demikian, ketiga potensi intelektual rohani tersebut memiliki wadah indrawi. Misalnya pendengaran, alat atau wadah indarawinya adalah telinga. Sedang penglihatan sebagai potensi intelektual, alat dan wadah indrawinya adalah mata. Adapun alat atau wadah intelektual ketiga adalah otak manusia.
Berdasarkan uraian di atas, saya kemudian memahami bahwa yang mendengar sesungguhnya adalah bukan telinga tetapi pendengaran. Bukan pula mata yang melihat tetapi penglihatan. Bukan pula otak yang berpikir tetapi qalb, fu’ad, lubb, sir dan atau roh. Dengan demikian yang tuli sesungguhnya adalah telinga hati; yang bisu adalah lisan hati dan yang buta adalah mata hati. Yakni tuli dari kebenaran ayat ilahi, bisu dari kebenaran kalam ilahi dan buta dari tanda-tanda kebesaran, keagungan, dan kemuliaan ilahi atau izzatullah.
Lihatlah diri sendiri, istri, anak, keluarga, dan manusia di dunia ini. Telinga kita mendengar, mata kita melihat dan otak kita berpikir cerdas, tetapi tak mengenal Allah, tak memiliki makrifatullah, tidak menyadari dan menyaksikan kehadiran Allah pada apa yang kita dengar. Demikian pula pada obyek yang kita lihat serta pada obyek yang kita pikirkan. Padahal, Allah menampakan diri-Nya pada semua suara yang kita dengar, semua al-kaun yang kita lihat, dan semua makhluk yang kita pikirkan dan kita wacanakan, bicaranya lewat lisan kita.
Manusia yang telah tenggelam dalam hakekat ketulian, kebisuan, dan kebutaan, pasti jatuh dalam kesyirikan dan kekafiran, kefasikan, kemunafikan, kezaliman, dosa, kemaksiatan, kelalaian, dan kealpaan. Meskipun telinganya matanya, otak dan lisannya sempurna berfungsi. Justru lewat telinga, mata, otak-pikiran, dan lisannya, mereka berbuat kedurhakaan, bermaksiat, dan berdosa kepada Allah, serta melakukan kemungkaran. Seperti ditegaskan dalam QS. al-Nahl, ayat 106-108.
Sementara dalam QS. al-Baqarah ayat 7, ditegaskan bahwa kalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka disfungsi. Dengan kata lain, potensi intelektual mereka tertutup rapat dan terkunci. Akibatnya, peringatan-peringatan ilahiah tidak berguna baginya. Pada akhirnya mereka pun jatuh secara konsisten dan konstan dalam lumpur kotor kekafiran yang nyata dan tidak mampu berubah dan memperbaiki diri. Nauzu billah min zalik.
Manusia yang telah disfungsi, tertutup rapat dan terkuci ketiga potensi intelektual rohanianya, adalah manusia yang dikuasai oleh hawa nafsunya dan menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya, sebagai sumber eksistensinya, sebagai sanjungan dan keterpujiannya, sebagai tujuannya, sebagai kecintaannya, dan sebagai ikutan dan sesembahannya (QS. al-Jatsiah, ayat 23). Tidak ada yang mampu memfungsikan kembali potensi-potensi intelektual yang telah tertutup dan terkunci selain Allah. Dengan kata lain, hanya Allah yang mampu membuka kembali ketiga potensi intelektual rohania tersebut ketika tertutup dan atau terkunci rapat (QS. al-An’am, ayat 46).
Keterangan lain yang tak kalah pentingnya dikemukakan adalah penegasan Allah, bahwa potensi-potensi intelektual rohania yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, pasti dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah. Seperti dikemukakan dalam QS. al-Isra ayat 36. Oleh karena ketiga potensi intelektual ruhaniah tersebut, jangan sampai disfungsi, yakni tuli dari suara ilahiah; bisu dari wacana ilahiah, buta penyaksian ilahiah dan jahil, bodoh akan makrifatullah.
Sebagai kesimpulan, saya ajak untuk merenungkan pertanyaan muhasabah, “’Belum tibakah saatnya kita menfungsikan ketiga potensi intelektual rohaniah secara benar sesuai dengan keinginan dan keridaan Pencipta yang telah menganugerahkannya kepada kita semua?”
Jangan menunda lagi. Jangan sampai berakhir dalam penyesalan yang dalam. Jangan sampai baru ingin berubah dengan memfungsikan ketiga potensi intelektual rohaniah tersebut, tapi sudah lewat masa dan waktunya serta tidak lagi dalam ruang dan tempatnya.
Seperti kelompok sosial kafir tenggelam dalam penyesalan yang tidak berguna di akhirat. Intelektual rohaniah mereka baru berfungsi setelah mereka melihat, menyaksikan secara haqqul yakin kebenaran ilahiah di akhirat. Oleh karena itu, mereka baru ingin berubah dan memperbaiki diri dengan mengfungsikan potensi intelektual rohaniahnya. Mereka meminta kepada Allah agar dikembalikan ke dunia meskipun hanya sesaat. Namun, permintaan mereka tertolak dan tidak mungkin terlaksana. Sungguh penyesalan yang menyiksa yang abadi dan selamanya. Iyazul Billah min zalik.

Doktor di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an. Dosen di Unhas Makassar dan UIN Alauddin Makassar
Leave a Reply