Pagi-pagi biasanya orang sudah pada berkerumun. Melakukan transaksi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Berbagai macam latar belakang orang berkunjung ke tempat itu. Riuh dan banyak teriakan. Masing-masing orang datang dengan niat dan maksudnya masing-masing. Sambil beraktivitas, sesekali bau busuk menyengat. Menusuk hidung dan sedikit membuat pernapasan terganggu.
Tak jarang, ada pula oknum yang berlaku culas alias curang. Ada pedagang ketika membeli bahan “literan”, anggaplah semisal beras atau langsat, takaran yang dipakainya, tak sesuai. Alas dari liternya, dibuat cembung ke atas, sehingga takarannya, tak sampai seliter lagi. Atau, jika hendak menawar harga sebuah barang dengan menyebut angka nominalnya, tak jarang penjual menyebut bahwa nominal tawaran yang kita sebut itu, tak sampai modalnya. Eh… tahu-tahunya, ketika kita hendak meninggalkan tempatnya, ia menyepakati harga yang kita sebut itu. Dari sini, kita tidak tahu, apakah betul bahwa nominal harga yang kita sebut tadi, adalah modal awal dari barang itu atau tidak. Jika tidak, berarti ada kebohongan di sana.
Ya, kurang lebih demikianlah gambaran pasar, terutama di pasar rakyat atau pasar-pasar tradisional. Tentang adanya fenomena di pasar ini, saya hendak lebih fokus mengurai adanya bau busuk dan adanya oknum yang biasa berperilaku curang itu. Walaupun, adanya bau busuk dan oknum yang berperilaku curang itu, tidak semua terjadi di semua pasar. Toh, ada juga pasar yang begitu higienis. Penghuninya pada jujur.
Adanya bau busuk di pasar, disebabkan oleh beberapa sebab. Bisa karena adanya sampah belum terurus, oknum penghuni dan pengunjung pasar yang membuang sampah bukan pada tempatnya. Atau, sampah sudah dibuang pada tempatnya, namun belum terangkut oleh petugas sampah yang ditugaskan.
Demikian pula dengan adanya oknum pedagang yang pandai berkamuflase dengan nominal modal sebuah barang. Mungkin ia hendak bermaksud meraup untung yang mumpuni. Toh memang, berdagang itu, ya cari untung. Bukan cari rugi.
Lalu, apakah dengan adanya bau busuk itu, adanya oknum yang berperilaku culas itu, membuat kita membenci pasar? Sampai-sampai tak mau lagi berkunjung ke pasar. Bahkan hingga mengutuk pasar? Mengidentikkan bahwa pasar adalah sebuah kebusukan? Lumbung tipu menipu dan kecurangan? Apakah dengan bau busuk dan “keculasan” itu, membuat kita tak mau lagi menginjakkan kaki di pasar? Menghindarinya dan tak mau lagi tahu tentang pasar? Tentu tidak.
Ketidaktahuan atau ketidakmauan kita untuk tahu tentang pasar, sama halnya kita mempersiapkan proses “bunuh diri”. Sebab, di sanalah kebutuhan primer dan sekunder kita, kebutuhan keseharian kita, disediakan. Apa pun alasannya, kita tak bisa terhindar dari pasar.
Lalu, siapa yang pantas “dibenci”? Tentu bukan pasarnya. Pasar tidak pernah salah. Pasar bukan personal. Yang pantas diresahkan adalah oknum-oknum yang ada di dalamnya, yaitu oknum-oknum yang membuang sampah bukan pada tempatnya. Oknum-oknum yang pandai berdusta hanya untuk mengelabui pelanggannya. Itulah yang pantas “dibenci”.
Nah, gambaran tentang pasar ini, saya hendak analogikan dengan politik. Politik itu ibarat pasar. Di sanalah kebutuhan kita diurus dan disediakan. Mulai dari ujung rambut, sampai ujung kaki. Bahkan, politik itu ada hubungannya (langsung atau tidak langsung) dengan apa pun yang kita kenakan di tubuh kita.
Anggaplah benda yang sering kita gunakan pada bagian paling atas pada tubuh kita yaitu songkok, atau topi bagi pria. Atau kerudung bagi perempuan. Dan, yang sering kita gunakan pada bagian paling bawah tubuh kita yaitu sandal atau sepatu.
Songkok, topi, kerudung, sepatu dan sandal atau apa pun yang melekat pada tubuh kita (baca; pakaian), ada hubungan dengan politik. Kok bisa? Benda-benda itu adalah hasil dari proses industri. Insdustri hanya bisa dibangun jika ada izin dari pemerintah atau sosok yang berkuasa. Pemerintah atau sosok yang berkuasa itu, baik di eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota, atau bahkan kepala desa) adalah sosok pemimpin yang lahir dari proses politik, baik melalui pemilu ataupun pilkada.
Itu baru yang kita gunakan. Bagaimana dengan yang kita makan? Semisal beras. Sama, semuanya ada hubungannya dengan politik,. Beras berasal dari padi. Padi hanya bisa ada jika ada bibitnya. Bibit tidak cukup. Butuh lahan. Lahan yang subur, hanya bisa hadir jika ada irigasi.
Siapa yang bisa mengatur dan menghadirkan bibit. Siapa yang bisa mengatur dan menghadirkan adanya irigasi? Tentu karena adanya kebijakan dari pemerintah alias orang yang “berkuasa”. Sementara, pembuat kebijakan itu, lahir dari pilihan-pilihan politik dari warganya.
Karena itulah, politik sebagai sebuah konsep yang mengatur hajat hidup dasar dan pemenuhan kebutuhan warga, saya ibaratkan sebagai pasar.
Sayangnya, tidak jarang orang mengatakan bahwa politik itu busuk. Politik itu tipu menipu. Politik itu buruk. Politik itu kebohongan. Politik itu ibarat najis. Hanya karena adanya oknum yang berperilaku busuk dan curang di dalamnya.
Efeknya, seseorang yang beranggapan seperti ini, akan menjauhi politik. Ini sama halnya membenci pasar dan tidak mau lagi berbicara tentang pasar. Tidak mau lagi tahu dan menginjakkan kaki di pasar. Tidak mau lagi bersentuhan dengan pasar. Bisa dibayangkan, bagaimana cara ia memenuhi kebutuhannya?
Karena itulah, pentinganya meletakkan politik sebagai sebuah konsep dan meletakkan orang-orang yang ada di dalamnya sebagai sebuah perilaku. Tidak boleh dicampur-adukkan. Politik itu konsep bernegara dan berwarga-negara. Politik merupakan konsep yang disediakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bahkan kebutuhan “tinggi” dari setiap warga. Ia bukan person. Bukan subjek. Bukan sosok. Tetapi ide. Sebuah konsep, yang tujuan akhirnya adalah tercapainya kebutuhan bersama.
Bahwa di dalamnya ada perilaku-perilaku busuk dan curang, bukan menjadi alasan untuk membenci politik. Sebagaimana kita tak pantas membenci pasar.
Dengan demikian, kita tidak boleh buta dengan politik. Tidak boleh abai dengan politik. Buta terhadap politik, sama halnya kita menyumbat kebutuhan dasar kita sebagai warga. Sebagaimana kita tak bisa memenuhi kebutuhan dasar kita karena tidak mau menginjakkan kaki di pasar.

Ketua KPU Bantaeng Periode 2018-2023
Leave a Reply