Ada yang berubah di Bantaeng. Udara tak lagi bau garam dari laut atau aroma jagung rebus dari warung pojok, tapi bau besi nikel yang sombong, bau yang katanya “tanda kemajuan”. Katanya, di sini akan lahir masa depan yang bercahaya. Tapi yang saya lihat justru masa depan sedang dipanggang di tungku pabrik milik PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia, sambil pejabat-pejabat kita berdiri di pinggir, mengipas-ngipas muka dengan map berlogo pemerintah.
Selasa, 11 November 2025. Hari yang harusnya biasa saja, tapi berubah jadi tontonan lucu kalau tak mau dibilang tragis. Posko perjuangan buruh di kantor DPRD, yang dua bulan lamanya jadi tempat rakyat menunggu keadilan, mendadak diusir. Polisi datang dengan wajah kalem, seperti petugas ronda yang sedang menertibkan tukang parkir. Alasannya, “Masalah sudah selesai.”
Selesai dari mana? Dari mimpi? Dari rapat internal? Atau dari bisikan perusahaan?
Di negeri ini, “selesai” memang kata paling ajaib. Ia bisa mematikan persoalan tanpa menyentuh akar. Bisa menenangkan orang lapar tanpa memberi makan. Dan bisa menyingkirkan rakyat tanpa menyinggung rasa malu pejabatnya.
Posko perjuangan itu dirobohkan dengan sopan. Semangatnya dicabut, spanduknya digulung. Polisi bekerja rapi, tak ada gas air mata, tak ada pentungan, karena kekerasan di sini sudah berubah wujud. Ia tak perlu berteriak atau memukul; cukup dengan perintah halus, “Bubar, Pak.” Dan rakyat pun bubar, dengan perasaan seperti diusir dari rumah sendiri.
Dari dalam gedung DPRD, tak ada suara. Hanya pendingin ruangan yang berdengung pelan. Bupati diam. Wakil bupati diam. Ketua dan anggota DPRD pun diam, seolah mulut mereka ikut disemen oleh proyek pembangunan. Mungkin mereka sedang rapat batin, mencari alasan paling santai untuk membenarkan ketakutan. Atau sedang menimbang apakah lebih berat nurani yang basah, atau amplop yang kering.
Lucunya, semua pejabat di Bantaeng kini mendadak jadi bijak. Kalau ditanya soal buruh, jawabannya lembut sekali: “Kita jaga kondusivitas daerah.”
Padahal yang mereka jaga bukan kondusivitas, tapi posisi duduk. Sebab di negeri kecil ini, yang berani menegur Huadi sama saja menulis surat pengunduran diri dari kenyamanan.
Dan aparat kita? Ah, netralitas mereka begitu suci sampai-sampai rakyat malu sendiri menuntut keadilan. Mereka bilang hanya menegakkan hukum, tapi hukum macam apa yang selalu jatuh ke sisi yang gemuk? Buruh yang protes disebut pengganggu ketertiban, tapi perusahaan yang melanggar disebut “mitra strategis”. Ini bukan hukum, ini lelucon yang kehilangan rasa malu.
Bantaeng hari ini seperti rumah tangga yang disandera oleh menantu kaya. Semua diam, semua sopan, semua pura-pura bahagia. Eksekutif sudah lupa mengeksekusi, legislatif lupa mengawasi, yudikatif lupa mengadili. Mungkin karena semua sudah keburu sibuk selfie di depan pabrik, mengabarkan bahwa “daerah ini berkembang”.
Padahal yang berkembang cuma satu: keberanian untuk menipu diri sendiri.
Tapi rakyat, sebagaimana sejarah selalu ajarkan, tidak sebodoh itu. Mereka tahu kapan dipermainkan. Mereka boleh diam sekarang, tapi diamnya rakyat bukan berarti kalah, itu jeda untuk menajamkan sabar. Mereka tahu bahwa tenda bisa dicabut, tapi kesadaran tidak bisa.
Huadi mungkin mengira mereka sudah menang. Polisi mungkin merasa sudah aman. Pejabat mungkin pikir badai sudah lewat. Tapi mereka lupa satu hal kecil yang selalu ditulis sejarah dengan huruf merah: tidak ada kekuasaan yang abadi di atas penderitaan.
Perlawanan itu bukan puntung rokok yang mudah dipadamkan. Ia bara yang diam-diam menyala di balik dada para buruh, di obrolan warung kopi, di dapur-dapur istri mereka yang mulai bosan menanak nasi dengan air mata. Dan ketika bara itu meledak, ia tak akan datang membawa spanduk. Ia datang membawa kesadaran, dan kesadaran, saudara, jauh lebih berbahaya dari batu.
Sudah dua bulan gedung megah itu jadi asrama perjuangan. Bukan lagi tempat rapat wakil rakyat, tapi tempat rakyat betulan bermalam. Spanduk menjerit: “Turunkan Ketua DPRD dan Sekwan!” — sebab di negeri kecil bernama Bantaeng, tampaknya buruh lebih tahu arti wakil rakyat daripada para wakil itu sendiri.
Maka, wahai para pejabat yang kini sedang nyaman di kursi empuk, nikmatilah tenangmu sementara. Karena di luar sana, rakyat sedang belajar tertawa di tengah penderitaan. Dan itu tanda paling berbahaya: ketika orang bisa menertawakan deritanya sendiri, artinya ia sudah tak punya takut lagi.
Bantaeng bukan lagi sekadar kabupaten, ia sudah jadi pelajaran tentang bagaimana kekuasaan bisa dibeli murah oleh perusahaan, dan bagaimana rakyat bisa menjual ketakutannya lebih mahal. Hari ini, mungkin mereka kalah. Tapi besok, siapa tahu?
Karena kalau sejarah benar, perlawanan selalu lahir dari orang-orang yang diusir dari posko, bukan dari mereka yang duduk di balik meja.
Dan kalau hari ini kalian tertawa di bawah kaki Huadi, jangan lupa: di bawah kaki itu juga, tanah sedang bergetar.
Perlawanan akan datang. Lebih besar, lebih menyala, dan lebih mengerikan dari apa pun yang bisa kalian bayangkan.
Tunggulah.
Kredit gambar: Qalbi Qadrianto/SBIPE Bantaeng.

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.


Leave a Reply