Selamat Hari Ayah buat ayah. Sembari ia memeluk dari belakang. Nyaris menaiki punggung sang ayah, kayak mau di-dengnge. Kiwari, si anak telah memangsa waktu sekira 20-an tahun. Telah menjalani tahun pertamanya di universitas. Ucapan selamatnya membuat sang ayah terperangah. Pasalnya, tanggal 12 Nopember merupakan Hari Ayah Nasional. Sang ayah melata di dunia lebih separuh abad, termasuk orang yang tak terlalu peka dengan hari-hari nasional, kecuali Hari Ibu.
Di pagi buta itu, sang ayah dan si anak duduk berdepan-depan. Si anak milenial dan sang ayah gen-X berbeda prilakunya. Si anak sibuk kobbi-kobbi atau mengelus-elus layar datar ponsel cerdasnya, sementara sang ayah memangku buku setebal 500-an halaman: mengeja pagina-demi pagina. Meskipun berbeda prilaku, keduanya sesekali saling lempar tanya-jawab.
Tatkala sang ayah ke kamar kecil untuk pipis, si anak mengambil buku bacaan sang ayah. Dibukanya pagina yang terselip pembatas buku, penanda bacaan sang ayah. Terkejutlah si anak, sebab judul esai yang dieja sang ayah berjudul, “Ayah dalam Tiga Tembang Kenangan”, dalam buku Pesona Sari Diri, anggitan Sulhan Yusuf, terbit tahun 2019.
Sebelum sang ayah keluar dari kamar kecil, si anak sudah meletakkan kembali buku ejaan sang ayah. Rupanya, intipan si anak terhadap buku dan judul esai itu, ia olah dengan iseng-iseng bertanya via ChatGPT. Dasar anak milenial, sekotah perkara didigitalkan. Ia tanya ChatGPT, “Bagaimana dengan esai Sulhan Yusuf, berjudul ‘Ayah dalam Tiga Tembang Kenangan’, dalam buku Pesona Sari Diri?”.
Sembari menunggu ulasan mesin kecerdasan buatan itu, si anak juga bertanya kepada sang ayah, “Apa yang ayah bikin di Hari Ayah Nasional ini?”
“Tak perlu ada perayaan berlebihan. Mengeja buku ini saja, sudah lebih dari cukup”.
“Apatah lagi, bila mendengarkan tiga tembang kenangan itu seharian, elok nian rasanya. Dan, lebih elok lagi jika kita nyanyi bareng, tembang tentang ayah dari band legendaris: The Mercy’s, Panbers, dan Koes Plus.”
“Mainkan keybordmu, ayah bernyanyi, dan sesekali backing vocal, biar seisi mukim terhibur.”
“Okelah yah, nanti sore atau malam kita jamming bareng. Pagi hingga siang ini, kita percakapkan saja tentang sosok ayah,” pinta si anak.
Hening sejenak. Si anak sibuk menatap layar datar ponselnya, sang ayah mengeja buku.
“Seperti apa sosok kakekku ayah? Apa hubungannya dengan esai yang ayah baca?” Tahulah sang ayah, ketika ke kamar kecil, rupanya si anak mengintip bacaannya.
“Kakekmu itu seorang kiyai.”
“Tapi kenapa tidak setenar kiyai-kiyai yang sering diceritakan oleh para ustaz di kampung kita?” Si anak penasaran dengan ke-kiyai-an kakeknya.
“Abbaku seorang kiyai kampung, tapi bukan kampungan,” tutur sang ayah. Sang ayah memanggil ayahnya dengan sebutan abba.
Gara-gara panggilan si ayah kepada ayahnya itu, sering si anak dengan bangga menghubungkan dengan satu grup band legendaris asal Swedia: ABBA. Apatah lagi, belakangan ini si anak mengakrabi satu tembangnya, “Slipping Through My Fingers” Bahkan ia sudah meng-cover lewat permainan keybord, lalu dia tayangkan via medsosnya.
“Kakekku kiyai kampung?” Sela si anak.
“Tanya ponselmu seperti apa kiyai kampung itu.”
Si anak berselancar lewat layar datar. “Ah, mending tanya saja perangkat serba pintar.” Jawab si anak.
Dalam sekejap, keluarlah penjelasan terkait seperti apa kiyai kampung. Kutipan dari Gus Dur mewakilinya, “Istilah kiyai kampung bukan sekadar eufimisme, melainkan katagori yang punya ciri sosial dan fungsional: berada di ‘akar rumput’, dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, melakukan pengajaran informal, ritual lokal, dan bukan semata-pengasuh pesantren besar.”
“Begitulah sosok kakekmu. Abbaku jarang sekali naik mimbar. Meskipun di awal-awal kiprah dakwahnya, amat sering naik mimbar, maupun memberikan pengajian Kitab Kuning,” tegas sang ayah.
Sang ayah melanjutkan, “Abbaku selain meladeni perkara anak-anak negeri, juga lebih aktif menggeluti dakwah bilhal. Ikut memolopori pembangunan masjid, madrasah, ataupun fasilitas umum lainnya. Sekadar tahu saja, kakekmu sang kiyai kampung itu pernah menjadi Kepala Kampung sewaktu masih zaman pergolakan. Waima, setelah negeri mulai damai, jabatan ia letakkan, lalu memilih menjadi petani, sesekali berdagang dari pasar ke pasar.”
“Mengapa ayah tidak mengikuti jejak kakekku, menjadi kiyai juga?” Si anak mancing-mancing perkara agak rahasia bagi sang ayah.
Kalimat-kalimat penjelas meluncur deras dari tutur sang ayah. Diuarkannya, “Menjadi kiyai itu tidak mudah. Apalagi menjadi kiyai kampung. Kalau menjadi kiyai formal, naik turun mimbar, terlibat dalam jabatan-jabatan publik itu mudah. Apalagi di kekinian, sudah ada sekolahnya buat jadi kiyai. Alumninya langsung dapat gelar kiyai muda, yang entah kapan jadi kiyai tua. Sebab, butuh seleksi sosial dari masyarakat yang bakal memahkotainya kiyai seutuhnya.
Sementara, di zaman lampau, seseorang menjadi kiyai, terkadang yang bersangkutan tak mencita-citakan dirinya jadi kiyai. Cukup menuntut ilmu keagamaan hingga tak berhingga. Nantilah masyarakat kemudian melantiknya menjadi kiyai. Makanya, tidak jadi soal bagi orang tertentu, ia menjadi kiyai tenar atau tidak, sebab nasibnya ada di tangan masyarakat.
Sekarang jauh lebih mudah jadi kiyai, sebab fasilitas serba memudahkan jalannya. Apalagi menjadi kiyai virtual, bergantung pada citra-citra visual via perangkat digital. Apa jadinya? Kiwari, sudah sangat sulit mendapatkan kiyai kampung. Sosok kakekmu sebagai kiyai kampung, sudah rumit menemukannya, mirip mobil panther: nyaris tak terdengar.”
Mendung di Hari Anak Nasional, mengiringi percakapan antara si anak dan sang ayah. Tak terasa waktu Duhur segera menjemput. Toa masjid dekat mukim sudah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sang ayah ingin berkemas menjemput Duhur.
Si anak menyela, “Ayah, ini ada secarik ulasan atas esai Sulhan Yusuf, terkait “Ayah dalam Tiga Tembang Kenangan, hasil ChatGPT.”
“Kirim saja ke ponselnya ayah, biar ayah eja sehabis Duhur,” sahut sang ayah.
Satu paragraf sementara terbang ke ponsel sang ayah, bertuliskan, “Esai ini merupakan refleksi personal tentang sosok ayah yang dilihat penulis melalui tiga “tembang kenangan”. Tiga lapisan waktu dan pengalaman yang menyatu menjadi potret batin seorang anak terhadap ayahnya. Sulhan Yusuf tidak menggambarkan ayahnya secara langsung sebagai figur heroik, melainkan sosok yang hadir dalam keheningan, kesederhanaan, dan nilai-nilai hidup yang terus mengalun dalam ingatan.”
Selamat Hari Ayah Nasional, 12 Nopember 2025.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.


Leave a Reply