“Tak ada kejahatan yang lebih besar di dunia ini daripada membunuh kebudayaan.” (Pramoedya Ananta Toer)
Dalam hiruk-pikuk konten digital, ke mana perginya nilai-nilai budaya yang dulu diwariskan secara turun-temurun?
Di tengah derasnya arus informasi global dan kebisingan digital yang membentuk lanskap sosial generasi muda saat ini, ada satu suara yang pelan-pelan redup, bahkan hampir hilang: suara tradisi.
Generasi Z yang lahir di era internet, media sosial, dan budaya instan kini menjadi aktor utama dalam perubahan budaya yang belum pernah terjadi secepat ini dalam sejarah umat manusia. Namun, di balik inovasi dan kebebasan berekspresi yang mereka suarakan, terdapat ironi: tradisi yang dulu hidup, kini mulai redup. Bisu.
Kondisi ini terasa di daerah seperti Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, wilayah yang kaya akan sejarah adat dan warisan budaya. Bantaeng bukan sekadar nama kabupaten: ia adalah simbol nilai-nilai budaya yang telah hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dari kearifan lokal seperti Siri’ na Pacce, seni tutur seperti Pappasang, hingga bentuk-bentuk ekspresi budaya lainnya, semua itu dahulu terdengar keras membentuk identitas masyarakat. Kini, suara-suara itu mulai kehilangan gema di hati generasi selanjutnya.
Tradisi yang membisu adalah simbol akan lenyapnya budaya. Budaya yang membisu bukanlah fenomena yang terjadi secara tiba-tiba, ia adalah akumulasi dari perubahan zaman yang tidak diimbangi dengan kesadaran budaya. Kita dapat melihat bagaimana rumah adat mulai ditinggalkan, bahasa daerah hanya dipakai oleh generasi tua, dan anak-anak lebih mengenal istilah asing. Mereka lebih memilih mengikuti tren (FOMO), daripada memahami peribahasa lokal. Bahkan, acara adat pun seringkali hanya menjadi formalitas kalender, bukan sebagai sesuatu yang penting.
Tradisi yang membisu, sesungguhnya sedang berteriak meminta untuk tidak dilupakan. Ia tidak akan punah atau mati, tetapi ia dibungkam oleh ketidakpedulian dan ketidaktertarikan generasi saat ini. Ketika Gen Z lebih memilih berbicara dalam bahasa asing ketimbang bahasa ibu, maka ada yang perlu dikritisi dari cara kita mewariskan identitas budaya.
Gen Z berada di persimpangan antara modernitas dan kehilangan akar. Mereka adalah generasi yang cerdas, kreatif, dan peduli terhadap isu-isu besar seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Namun, dalam derasnya semangat perubahan itu, terkadang mereka lupa terhadap budaya dan tradisi daerahnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berdiri di atas pondasi yang rapuh, karena akar budaya yang seharusnya memperkuat jati diri mulai terlepas.
Bantaeng, dengan segala kekayaan budaya lokalnya, seharusnya menjadi pondasi kuat bagi identitas Gen Z. Namun, ketika pendidikan budaya hanya menjadi pelajaran semata, dan ruang-ruang digital dipenuhi konten luar yang tidak kontekstual, maka budaya lokal tak punya tempat untuk bersuara. Gen Z di Bantaeng lebih mengenal TikTok daripada Pappasang atau Siri’ na Pacce.
Salah satu inti dari budaya Bugis-Makassar, termasuk di Bantaeng, adalah nilai Siri’ na Pacce. Siri’ berarti harga diri martabat yang tak ternilai. Pacce adalah empati mendalam. Siri’ na Pacce mengajarkan tentang moralitas dan kesusilaan, berupa anjuran, larangan, hak, dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga serta mempertahankan kehormatannya. Dua nilai ini bukan hanya slogan mereka adalah etika hidup.
Di era digital yang serba cepat, nilai Siri’ na Pacce seharusnya menjadi kompas moral bagi generasi muda. Ketika ruang media sosial penuh dengan ujaran kebencian, body shaming, dan hilangnya empati, siri’ bisa mengingatkan pentingnya menjaga martabat diri dan orang lain. Sementara pacce mengajarkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh membuat kita kehilangan rasa peduli terhadap sesama.
Sayangnya, karena nilai ini jarang dibicarakan dalam ruang pendidikan, maupun media anak muda, Siri’ na Pacce terkesan asing dan tidak relevan. Padahal, jika dimaknai secara kontekstual, ia sangat relevan. Misalnya, dalam menghadapi perundungan (bullying) digital, nilai Siri’ bisa menumbuhkan kesadaran harga diri, sedangkan Pacce bisa menumbuhkan solidaritas melawan ketidakadilan.
Nilai ini tidak harus disampaikan secara kaku atau lewat ceramah adat. Ia bisa hidup dalam bentuk konten digital, film pendek, cerita visual, atau kampanye kreatif yang dekat dengan dunia Gen Z. Dengan begitu, nilai-nilai luhur ini tidak akan hilang, tapi justru bertransformasi menjadi kekuatan moral yang relevan dalam kehidupan modern.
Atta saya, M. Johar Said pernah bercerita, “Riolo punna nia tau, lanyakmi siri’na bajikangangi matea daripada na alleko na kanre siri’.” Pernyataan ini menyentil kenyataan bahwa konsep Siri’ hari ini mulai luntur. Bukan karena Gen Z tidak mampu memahaminya, tapi karena tidak ada lagi ruang dan tempat yang cukup untuk membicarakannya dalam konteks kekinian. Padahal, Siri’ na Pacce bisa menjadi benteng moral dalam menghadapi tantangan zaman teknologi yang terus berkembang. Di tengah krisis empati digital, nilai pacce menjadi sangat releva, mengajarkan kita untuk tidak hanya peduli pada diri sendiri, tapi juga pada sesama makhluk hidup.
Semua ini belum terlambat. Tradisi tidak harus tinggal di masa lalu, ia bisa dibawa ke masa depan dengan cara baru, selama nilai dasarnya tetap terjaga. Gen Z punya modal besar untuk itu: kreativitas dan teknologi. Mengapa bahasa Makassar tidak digunakan dalam konten-konten kreatif yang dikonsumsi anak muda setiap hari?
Bahasa ibu sulit dipahami oleh Gen Z, kenapa? Karena mereka tidak fasih. Ketidakfasihan ini disebabkan karena kurangnya kebiasaan, serta dominasi tren yang tidak mengakomodasi bahasa ibu. Ketika kebiasaan ini terus berlanjut, maka bahasa ibu akan benar-benar tersingkir dari ruang kehidupan anak muda.
Budaya bisa hidup dalam berbagai bentuk, selama nilai dasarnya tetap terjaga. Tradisi bisa bermetamorfosis, asalkan rohnya tidak hilang. Ini adalah tugas bersama antara generasi tua yang menjaga warisan dan generasi muda yang siap melanjutkan.
Esai ini adalah panggilan kepada Gen Z di Bantaeng, bahwa mereka bukan penonton dalam teater kebudayaan ini. Mereka adalah aktor utama. Tradisi tidak butuh dilestarikan sebagai fosil, tapi dihidupkan kembali sebagai napas baru dalam kehidupan modern. Dalam istilah Bugis-Makassar: “Anre’ gurutta, anre’ tallasatta”, yang berarti: jangan lupakan akar meski ranting terus tumbuh.
Membiarkan budaya dan tradisi membisu berarti membiarkan diri kehilangan jati diri. Sebaliknya, menyuarakan tradisi dengan cara baru berarti menjaga identitas, memperkuat jati diri, dan memberi makna pada setiap langkah yang diambil dalam dunia yang terus berubah. Sebab, jika suara Gen Z tidak merangkul tradisi, maka tradisi akan terus diam. Dan jika tradisi terlalu lama diam, maka ia akan mati dalam kesunyian.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 151-154.
Kredit gambar: chatgpt.com/s/m_68d46b22328c819189442189b1687d6a

Lahir di Bantaeng, 13 April 2009. Berasal dari Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Menempuh pendidikan dasar di SD Inpres Teladan, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bantaeng, dan kini bersekolah di SMA Negeri 4 Bantaeng. Aktif dalam organisasi Refleksi (Remaja Kreatif Melek Literasi). Ariel dikenal sebagai pelajar yang memiliki minat besar dalam dunia literasi dan kepenulisan. Pada tahun 2024, ia terpilih mewakili Sulawesi Selatan di ajang nasional Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI), sebuah kompetisi bergengsi yang menumbuhkan kecintaan pada bahasa dan budaya daerah. Ariel suka menulis sebagai bentuk ekspresi, pelestarian budaya, dan jalan membangun masa depan lewat kata-kata. Terakhir, ikut Kelas Menulis Esai di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan Balla Literasi Indonesia Bantaeng angkatan ke-7.


Leave a Reply