Di tengah derasnya arus modernisasi yang menggilas batas-batas budaya lokal, masih ada tempat di mana napas tradisi terdengar jelas, dituturkan dalam bahasa leluhur, dan dijalankan dengan penuh penghormatan. Kampung tidak hanya menyimpan jejak sejarah, tetapi juga menjadi ruang perlawanan kultural, tempat di mana warisan leluhur tidak sekadar dikenang, tetapi dihidupi, dan diwariskan.
Namun, bukan gedung-gedung megah atau tokoh-tokoh ternama yang menjadi pusat dari kisah ini. Justru, kekuatan cerita ini terletak pada sosok-sosok yang sering luput dari sorotan, yaitu para perempuan. Di balik setiap prosesi adat, doa-doa kuno, dan aturan simbolik yang dilaksanakan dalam tradisi Akkawaru, berdirilah perempuan-perempuan tangguh yang menjadi penjaga terakhir nilai-nilai budaya yang kian terpinggirkan.
Dalam bayang-bayang stigma sosial, yang meminggirkan perempuan sebagai warga kelas dua, hanya layak mengurus dapur, sumur, dan kasur. Mereka, para perempuan, justru berdiri tegak, menjaga martabat komunitas. Lewat tangan mereka, tradisi yang nyaris punah mendapat napas baru: lewat suara mereka, generasi muda kembali mendengar cerita tentang tanah, langit, dan leluhur. Tulisan ini bukan hanya tentang adat dan upacara. Ini adalah cerita tentang perjuangan, ketekunan, dan keberanian perempuan dalam mempertahankan identitas di tengah gempuran zaman.
Sebuah kisah yang lahir dari tanah, tubuh, dan jiwa para perempuan Ballak Tujua yang tak pernah menyerah, menjaga apa yang seharusnya tidak dilupakan. Di ujung selatan Sulawesi Selatan, tepatnya di Kelurahan Onto, Kabupaten Bantaeng, terdapat sebuah kampung bernama Ballak Tujua. Kampung ini bukan sekadar tempat bermukim, melainkan ruang hidup yang memelihara sebuah warisan budaya turun-temurun: Akkawaru.
Akkawaru bukan hanya sebuah ritual adat. Ia adalah jantung kehidupan sosial yang menuntun masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari. Tradisi ini mengatur tatanan sosial, hubungan antarwarga, tata cara menghormati leluhur, serta bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, dan hal-hal yang bersifat spiritual. Dalam tradisi ini, simbol, doa, sesaji, dan aturan adat menyatu dalam sebuah sistem nilai yang kompleks penuh bermakna. Dan di dalam pusaran pelestarian nilai-nilai ini, perempuan memainkan peran yang sangat penting sebagai penggerak, penjaga, dan pewaris budaya.
Perempuan di Ballak Tujua telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik Akkawaru. Sejak usia dini, anak perempuan diajarkan bagaimana menyusun persembahan dengan bahan-bahan khusus, seperti bunga, kain putih, dan makanan simbolik. Mereka belajar membaca tanda-tanda alam, mengenal hari baik dalam kalender adat, serta memahami makna dari setiap tahap dalam prosesi ritual. Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi, tidak melalui buku, tapi melalui cerita lisan, pengamatan, dan praktik langsung bersama para ibu dan nenek mereka.
Sayangnya, meskipun peran perempuan sangat sentral, posisi mereka dalam struktur sosial dan adat seringkali dipinggirkan. Dalam konstruksi sosial patriarkal, perempuan dianggap lemah, tidak layak terlibat dalam proses pengambilan keputusan penting. Mereka dikurung dalam ruang domestik, dan hanya dianggap layak mengurus dapur, anak, dan urusan rumah tangga.
Padahal, dalam konteks budaya, perempuan justru adalah penjaga utama dari pengetahuan simbolik dan spiritual, yang melekat pada setiap ritual adat. Bahkan dalam ritual Akkawaru, peran perempuan sangatlah signifikan. Merekalah yang mengatur susunan altar persembahan, memastikan bahwa setiap elemen dalam ritual hadir dengan tepat dan bermakna. Mereka juga menjadi penjaga narasi, merekam cerita leluhur, menyanyikan lagu-lagu adat, dan mengajarkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya. Tanpa perempuan, tradisi ini perlahan akan kehilangan bentuk, makna, bahkan eksistensinya.
Zaman terus bergerak. Modernisasi dan globalisasi membawa tantangan baru yang tidak mudah dihadapi. Gaya hidup modern, media sosial, dan masuknya budaya luar telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap budaya lokal. Anak-anak remaja lebih mengenal tren dari luar negeri, tinimbang makna dari ritual adat yang diwariskan oleh nenek moyangnya sendiri. Mereka mulai menganggap adat sebagai sesuatu yang kuno, tidak menarik, dan tidak berguna dalam kehidupan modern.
Tidak hanya itu, urbanisasi dan tekanan ekonomi, membuat banyak perempuan harus keluar dari kampung untuk mencari pekerjaan. Mereka bekerja di kota, di sektor informal, bahkan di luar negeri sebagai pekerja migran.
Perubahan ini berdampak pada keterputusan mata rantai pengetahuan budaya. Semakin sedikit anak yang belajar tentang ritual adat, semakin jarang pula pelaksanaan Akkawaru dilakukan secara utuh sesuai adat lama. Meski begitu, semangat perempuan Ballak Tujua melestarikan warisan leluhur tak luntur. Mereka mulai mengembangkan cara-cara baru untuk menjaga tradisi tetap hidup. Di rumah, mereka masih mengajarkan bahasa Makassar, lagu-lagu adat, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah-kisah rakyat.
Di sekolah, mereka bekerjasama dengan guru untuk menyisipkan pelajaran budaya lokal dalam kegiatan ekstrakurikuler. Juga aktif mendorong anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan kebudayaan kampung, seperti menari, menyanyi, dan bermain musik tradisional. Salah satu inisiatif yang mulai berkembang adalah, penyelenggaraan festival budaya tahunan.
Dalam festival ini, perempuan menjadi penggerak utama. Mereka menyusun acara, melatih anak-anak, menyiapkan perlengkapan, dan memperkenalkan kembali nilai-nilai adat kepada masyarakat luas. Mereka membuktikan bahwa menjadi perempuan bukanlah halangan untuk menjadi pemimpin dalam pelestarian budaya. Festival ini juga menjadi ajang pendidikan informal bagi generasi muda. Lewat penampilan dan kegiatan interaktif, anak-anak diajak memahami pentingnya menjaga identitas budaya mereka.
Dalam suasana yang meriah namun penuh makna, mereka belajar bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan harta berharga yang bisa memberi makna pada kehidupan masa kini dan masa depan. Pergeseran ini membuka ruang baru bagi perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Mereka mulai mendapatkan tempat dalam musyawarah adat, dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting, dan bahkan menjadi narasumber dalam pelatihan-pelatihan budaya di tingkat daerah.
Ini adalah langkah maju dalam mendorong kesetaraan gender dalam ruang tradisi. Penting untuk dipahami bahwa perjuangan perempuan dalam menjaga tradisi bukan semata-mata soal pelestarian budaya, tapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Mereka menolak menjadi sosok yang hanya dianggap sebagai pelengkap, dan menunjukkan bahwa mereka mampu memimpin, mendidik, serta merumuskan ulang masa depan tradisi dengan cara yang lebih adil dan inklusif.
Perempuan Ballak Tujua telah membuktikan bahwa pelestarian budaya bukanlah tanggung jawab satu pihak, tetapi kerja kolektif yang membutuhkan keterlibatan semua unsur masyarakat. Dan dalam kerja kolektif itu, perempuan tidak lagi berada di belakang. Mereka kini berjalan sejajar sebagai pelaku, penggerak, dan penjaga warisan. Kini, harapan baru tumbuh di Ballak Tujua. Anak-anak perempuan mulai merasa bangga dengan identitas budaya mereka. Mereka belajar menyusun persembahan, mengenakan pakaian adat, menyanyikan lagu-lagu tradisional, dan memahami cerita leluhur. Mereka tidak lagi malu menyebutkan asal mereka, karena mereka tahu, ada warisan berharga yang sedang mereka jaga.
Tradisi Akkawaru mungkin akan terus berubah mengikuti zaman. Namun selama perempuan masih menjadi bagian penting dari proses perubahan itu, selama pengetahuan dan nilai-nilai masih diwariskan dengan kesadaran dan cinta, maka tradisi itu akan tetap hidup. Perempuan Ballak Tujua adalah bukti bahwa kekuatan budaya tidak hanya terletak pada kemegahan ritual, tetapi pada tangan-tangan sederhana yang dengan tekun merawat akar identitasnya.
Perjalanan perempuan Ballak Tujua dalam menjaga tradisi Akkawaru, adalah potret keteguhan yang lahir dari cinta pada warisan leluhur. Mereka bukan hanya pelaku dalam upacara adat, tetapi juga pengingat, bahwa budaya tidak akan bertahan tanpa tangan-tangan yang merawatnya dengan kesadaran dan kesabaran. Di tengah tantangan zaman yang terus bergeser—modernisasi, urbanisasi, hingga pengaruh budaya luar—mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga akar agar tidak tercerabut.
Apa yang mereka lakukan bukan sekadar menjaga masa lalu, melainkan merancang masa depan. Tradisi yang hidup hari ini akan menjadi fondasi bagi generasi mendatang untuk mengenal siapa mereka, dan dari mana mereka berasal. Dan perempuan, dengan segala perannya yang sering tak terlihat, adalah kunci dari kesinambungan itu.
Kini, saatnya melihat perempuan mereka bukan hanya sebagai pelengkap dalam narasi budaya, tetapi sebagai tokoh utama yang layak mendapat tempat, ruang, dan dukungan penuh. Karena di tangan mereka, bukan hanya ritual yang hidup, tetapi juga identitas, sejarah, dan harapan akan masa depan yang tetap berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal.

Lahir di Bantaeng pada tanggal 20 Januari 2002. Berasal dari Kelurahan Onto, Kabupaten Bantaeng. Saat ini tinggal di Passui. Merupakan lulusan Program Studi Sastra Daerah Bugis-Makassar, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar.


Leave a Reply