Kawasan adat yang sakral terletak di Tanah Tua Onto, memiliki cerita yang tiada habisnya. Menariknya, bagi yang memiliki garis keturunan Raja Bantaeng, tidak diperbolehkan mengunjungi lokasi tersebut.
Di sisi lain, pada lokasi ini terdapat objek yang diberi nama Balla Toddoka. Konon katanya dijuluki sebagai pusat bumi di Onto. Balla Toddokaberasal dari bahasa Makassar. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, balla berarti rumah sedangkan toddoka berarti pasak. Namun faktanya, Balla Toddokabukan berbentuk seperti rumah yang sering kita lihat. Lalu, apa itu Balla Toddokadan pentingnya?
Berbicara mengenai budaya lokal yang ada di Bantaeng, salah satu yang langsung terpikirkan adalah Kawasan Adat Balla Tujua Onto di Bantaeng. Ketika memasuki kawasan ini, kita akan dimanjakan dengan keindahan alam yang masih sangat terjaga.
Orang pertama kali yang mengunjungi kawasan ini mungkin akan berpikir, apa yang istimewanya tempat ini? Hanya ada bangunan rumah kecil, bebatuan, dan permukiman warga. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, kawasan ini kaya akan nilai budaya, yang dapat dikatakan sebagai awal mula peradaban di Onto.
Sebagai masyarakat Bantaeng, menjadi penting untuk kemudian mengenalkan kembali budaya yang samar diketahui melalui tulisan ini. Jika mendengar kata Onto, orang-orang mungkin hanya akan teringat Pesta Adat Onto saja, yang hampir setiap tahun dilaksanakan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Onto bukan hanya mengenai pesta adatnya saja. Ada banyak objek yang dapat dikaji dan menjadi sumber ilmu pengetahuan, baik itu dari nilai budaya, agama, adat istiadat, sejarah maupun arkeologis.
Kawasan Adat Onto merupakan wilayah yang kompleks. Berdasarkan temuan arkeologis dan beberapa penelitian, menggambarkan adanya aktivitas yang beragam jika dibandingkan dengan situs-situs lainnya. Menurut laporan penelitian Wayne A. Bougas (1998), di kawasan ini terdapat batas yang menjadi penanda disebut Lalang Bata(di dalam batas).
Lalang Bata adalah batas-batas kawasan yang menjadi bagian dari Perkampungan Tua Onto. Di dalamnya terdapat beberapa objek yang dapat ditemui seperti Balla Tujua, Balla Lompoa, Balla Toddoka, Batu Pallantikang, Bonto-Bontoa, Barugayya, Takka’ Bassia, Passaungang Taua, dan Pajjerakang.
Objek tersebut menjadi satu kesatuan, yang menjadi ciri suatu lokasi dapat dikatakan sebagai situs. Nilai budaya dan ilmu pengetahuan inilah yang perlu dipahami, agar mendapatkan perhatian untuk tetap menjaga keberadaannya. Pada tulisan ini, saya hanya akan mengangkat salah satu objek, yang dianggap sebagai bagian penting di dalam kawasan ini, yaitu pusat bumi di Onto, Balla Toddoka.
Balla Toddokaterletak tepat di sebelah timur Balla Lompoa Onto, ditandai dengan pagar pasak kayu/balok pada tiap sisinya yang berdiri kokoh. Batuan yang dikenal sebagai Pocci Butta (pusat bumi), berada di tengah-tengahnya, berukuran panjang 71 cm dan lebar 57 cm. Terdapat bekas minyak yang mungkin tersisa dari rangkaian ritual masyarakat setempat.
Sebelum memasuki lokasi tersebut, pinati membuka alas kaki dan membacakan mantra, sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaannya. Temuan batuan ini, diklasifikasikan sebagai tinggalan batuan altar berbentuk oval. Batuan altar adalah batu khusus yang terletak pada tempat-tempat tertentu, memiliki keunikan baik dari ukuran, bahan maupun jenisnya. Biasanya difungsikan sebagai tempat persembahan atau ritual keagamaan.
Masyarakat Onto menyakralkan Balla Toddoka, karena diyakini sebagai lokasi turunnya tumanurung dari langit, seperti yang sering ditemui dalam banyak tulisan. Diketahui bahwa awal mula Kerajaan Bantaeng berasal dari daerah Onto yang ditandai dengan pemerintahan Mula Tau (merujuk pada konsep Tumanurung), yaitu Tumanurunga ri Onto bergelar Karaeng Loe sekitar abad XIII (1332 M). Oleh karena itu, masyarakat menggunakan batuan ini sebagai media untuk ritual atau pemujaan bagi leluhur tersebut.
Pada kepercayaan dan ritus penduduk Lalang Bata, mereka melakukan peringatan turunnya tumanurung dalam serangkaian upacara, yang dilaksanakan hampir tiap tahun. Secara umum, kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan Anganro Karaeng Loe. Selama pelaksanaan upacara, penduduk setempat menyediakan beberapa persembahan kepada roh tumanurung. Ritual ini dipercayai sebagai bagian untuk membersihkan benda kalompoang (pusaka suci) yang ditinggalkannya.
Selain Anganro Karaeng Loe, bagian dari perayaan upacara khusus ini juga dilakukan a’dete babang (mengelilingi batas-batas permukiman). Sembilan warga desa dipilih untuk mengelilingi Lalang Batasebanyak tujuh kali pada malam hari. Warga setempat meyakini bahwa mereka mengikuti jalan sekeliling permukiman yang pernah dilalui oleh tumanurung.
Penduduk desa membawa beberapa persembahan berupa beras, ayam, dan manisan tradisional. Mereka menerangi jalan dengan lampu kanjoli yang terbuat dari campuran kapok dan kemiri. Persembahan yang sudah disediakan, ditempatkan pada tujuh titik lokasi, yang dikenal sebagai sanggara di sepanjang jalan. Setelah itu, mereka melakukan ritual mandi di mata air suci, Saluka ri Ganjeng. Puncak upacara ialah melakukan persembahan di situs Balla Toddoka. Upacara kemudian ditutup dengan pesta komunal masyarakat Onto.
Balla Toddoka begitu disakralkan, khususnya oleh masyarakat Onto. Tidak sembarang orang yang boleh memasuki dan menginjakkan kaki ke dalam batas lokasi tersebut. Balla Toddoka sebagai satu kesatuan penting dari Kawasan Adat Onto, yang berdekatan dengan Balla Lompoa Onto dan Batu Pallantikang. Masyarakat setempat sangat menjaga kesakralan kawasan hingga saat ini. Dengan demikian, diharapkan kawasan ini tetap terjaga kelestariannya dan tidak mengubah nilai-nilai yang telah ada sebelumnya.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 4-6.

Lahir di Bantaeng pada 20 Maret 2000. Sarjana Sastra Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin. Karya skripsinya berjudul “Peranan Padewakang dalam Pelayaran Niaga di Makassar Pada Abad ke19”. Saat ini sedang bekerja sebagai staf magang di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng.


Leave a Reply