Kekuasaan adalah panggung sandiwara yang paling besar, tempat manusia mengenakan kostum megah, merapal kata-kata seolah kalimatnya adalah hukum alam, dan menebar pesona seakan-akan bumi berputar atas titahnya. Sementara harta adalah properti panggung yang dijajakan di depan penonton: mobil berlapis emas, arloji setara gaji seribu buruh, rumah yang lebih mirip kuil kesombongan. Keduanya—kekuasaan dan harta—sering dijadikan atraksi, tontonan murahan yang justru mencerminkan betapa rapuhnya jiwa yang sedang memamerkannya.
Betapa anehnya manusia. Ia tahu bahwa setiap kekuasaan pasti usang, setiap harta pasti habis, setiap tubuh pasti akan dilumat tanah. Tetapi masih saja ia menggelar parade, menabuh drum kemegahan, mengundang rakyat jelata menjadi penonton setia, sembari berharap kekaguman yang abadi. Padahal yang kekal hanyalah Tuhan, sementara manusia hanyalah aktor yang menunggu giliran diturunkan dari panggung. Atraksi kekuasaan itu persis seperti pertunjukan sirkus: singa yang kelihatan buas sebenarnya sudah jinak, hanya bisa melompat lewat lingkaran api buatan sang pawang.
Sejarah adalah kuburan bagi mereka yang dulu menyangka diri sebagai penguasa dunia. Fir’aun memahat piramida agar keagungannya tak lapuk dimakan zaman, namun yang tersisa hanyalah jasad kaku yang jadi objek penelitian murid sekolah dasar. Qarun menggali bumi untuk menimbun harta, tetapi akhirnya tubuhnya ditelan tanah, sebagaimana kerakusannya ditelan kebodohan. Apa yang lebih hina daripada jasad yang tak sempat menikmati harta yang pernah dipamerkannya?
Namun, anehnya manusia modern tak pernah belajar dari sejarah. Lihatlah, betapa hari ini kekuasaan masih dipamerkan lewat karpet merah, iring-iringan mobil mewah, dan pidato kosong yang penuh tepuk tangan pesanan. Para penguasa seakan lupa bahwa rakyat tidak benar-benar menghormati mereka; rakyat hanya menunduk karena terpaksa, karena ada aparat dan senjata yang mengintai. Kekuasaan yang sejati lahir dari keadilan dan kebenaran, bukan dari kursi empuk dan mikrofon berlapis emas.
Dan harta, oh betapa ironisnya harta. Ia adalah rezeki yang seharusnya menjadi jalan syukur, namun berubah menjadi alat pamer. Orang berfoto dengan tumpukan uang, seakan-akan kertas itu bisa melindungi mereka dari ajal. Ada yang membeli jam tangan miliaran, padahal detik yang dihitung tetap saja mengantar menuju kematian. Ada yang mendirikan rumah bak istana, padahal ia hanya tidur di satu ranjang, dan kelak dipindahkan ke liang lahat yang panjangnya tak lebih dari dua meter.
Sarkasme kehidupan selalu membalikkan kesombongan itu menjadi bahan tertawaan. Penguasa yang dulu dielu-elukan, setelah lengser justru dihinakan. Mereka yang dulu bersuara lantang tentang moralitas, berakhir jadi terdakwa korupsi. Mereka yang dulu memamerkan harta, akhirnya berhutang pada rumah sakit untuk membiayai sakitnya sendiri. Lihatlah betapa cepat atraksi berubah jadi ironi: hari ini dielu-elukan, besok dilempari batu; hari ini disanjung, besok dicaci.
Nama-nama besar di panggung politik dunia pun tak lepas dari hukum ini. Nicolae Ceaușescu, diktator Rumania yang dahulu dielu-elukan bak raja, ditembak mati di hadapan rakyatnya sendiri. Saddam Hussein yang dulu berpidato dengan dada membusung akhirnya digantung, tubuhnya menjadi tontonan. Muammar Khadafi yang kaya raya dengan istana emas, berakhir diseret dan dihina oleh rakyatnya sendiri. Mereka semua membuktikan bahwa kekuasaan tanpa kebajikan adalah tiket menuju kehinaan.
Dan di tanah air kita sendiri, kisah serupa berulang tanpa henti. Para pejabat yang dulu dielu-elukan dengan seragam gagah, berakhir memakai rompi oranye KPK. Ada yang pernah disebut “bapak pembangunan daerah”, tetapi kemudian dipermalukan karena kasus suap. Ada gubernur yang dulu dielu-elukan dengan jargon populis, kini justru menjadi pesakitan di meja hijau. Ada pula menteri yang tampil penuh wibawa di depan rakyat, namun akhirnya terciduk memperjualbelikan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Semua ini membuktikan bahwa kekuasaan di negeri ini pun sering hanya atraksi panggung, bukan pengabdian.
Dalam pandangan irfan, kekuasaan dan harta hanyalah tirai, hijab yang menutup wajah manusia dari realitas hakiki. Kekuasaan sejati bukanlah kursi, melainkan kemampuan menguasai diri. Harta sejati bukanlah emas perhiasan, melainkan hati yang kaya. Maka orang yang sibuk memamerkan keduanya ibarat anak kecil yang bangga dengan mainan plastiknya, padahal orang dewasa tahu bahwa itu tak bernilai apa-apa. Seperti kata Rumi, “Harta yang kau simpan di tanganmu akan habis, tapi harta yang kau tanam di hatimu akan abadi.”
Namun nafsu manusia selalu mengidap penyakit eksibisionisme: ingin dilihat, ingin dianggap, ingin dikenang. Ia tak sanggup hidup dalam kesederhanaan sunyi. Ia butuh panggung. Ia butuh penonton. Ia butuh sorak-sorai agar merasa eksis. Padahal, ketika panggung ditutup dan lampu padam, ia kembali sendirian. Saat itulah ia baru sadar bahwa seluruh atraksi hanyalah kebohongan yang ia telan sendiri.
Kehinaan selalu menunggu di ujung jalan pamer. Semakin tinggi menara kesombongan dibangun, semakin keras pula suara robohnya. Orang yang berkuasa dengan arogan akan diruntuhkan oleh sejarah. Orang yang kaya dengan congkak akan dipermalukan oleh waktu. Kekuasaan dan harta yang tak berlandaskan kebajikan hanyalah jebakan yang menunggu saat tepat untuk mempermalukan pemiliknya.
Betapa lucunya ketika seorang pejabat berpidato tentang kesederhanaan, sementara tangannya dihiasi cincin berlian. Betapa ironisnya ketika seorang hartawan memamerkan donasi, tapi diam-diam menggandakan laba dari penderitaan orang miskin. Mereka lupa bahwa rakyat tidak sepenuhnya bodoh. Rakyat bisa tertipu sesaat, tapi tidak selamanya. Satu hari nanti, semua topeng itu akan robek, dan wajah asli mereka akan terlihat.
Dunia ini, kata para arif, hanyalah pasar malam. Lampu-lampu berkelap-kelip, musik berderap, orang-orang tertawa dan bersorak. Tapi setelah subuh tiba, semuanya bubar, dan yang tersisa hanyalah tanah kosong. Demikian pula kekuasaan dan harta: ia hanya gemerlap sebentar, lalu hilang tanpa bekas. Yang kekal hanya amal, hanya kebaikan, hanya cinta yang murni. Semua yang lain adalah bayangan, fatamorgana yang menipu.
Maka, siapa yang memamerkan kekuasaan dan harta, sesungguhnya sedang memamerkan kebodohan dirinya sendiri. Ia seperti badut yang tertawa keras untuk menutupi tangisnya. Ia seperti orang mabuk yang menari di tepi jurang. Ia seperti boneka kayu yang bangga berdiri di etalase, padahal hanya menunggu dibakar.
Pada akhirnya, setiap atraksi itu berujung pada kehinaan. Karena tidak ada yang lebih hina daripada manusia yang menyembah dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih hina daripada orang yang menjadikan kursi dan harta sebagai Tuhan. Dan tidak ada yang lebih hina daripada mereka yang lupa bahwa semua yang mereka genggam hanyalah titipan, yang suatu hari akan diminta kembali oleh Pemiliknya yang sejati.
Jalan selamat hanya satu: meruntuhkan panggung ego, mematahkan tongkat kesombongan, dan menyingkirkan tirai pamer. Kekuasaan sejati adalah kekuasaan untuk berkata benar walau pahit. Harta sejati adalah kemampuan memberi, bukan menyimpan. Dan kehormatan sejati adalah ketika nama kita dikenang bukan karena atraksi murahan, melainkan karena kebajikan yang tulus.
Mereka yang bijak sudah menertawakan dunia ini sejak lama. Mereka tahu, setiap istana hanya menunggu saatnya jadi reruntuhan, setiap kekuasaan hanya menunggu saatnya jadi bahan gosip sejarah, setiap harta hanya menunggu saatnya diwarisi oleh tangan lain. Maka mereka berjalan ringan, tidak terikat, tidak perlu pamer, karena mereka telah menemukan kekayaan yang tak bisa direbut: kekayaan jiwa.
Atraksi kekuasaan dan pamer harta hanyalah pesta singkat yang selalu berakhir dengan malu. Mereka yang menonton akan pulang dengan cerita, mereka yang tampil akan pulang dengan penyesalan. Dan di hadapan Tuhan, semua pertunjukan itu tak lebih dari bayangan absurd yang memalukan.
Maka, wahai manusia, jangan terlalu sibuk menata panggungmu. Karena kelak engkau akan tampil di panggung yang lain, di hadapan Hakim Agung. Dan di sana, tak ada lagi tepuk tangan, tak ada lagi kamera, tak ada lagi pujian palsu. Yang ada hanyalah pertanyaan: apa yang kau lakukan dengan kekuasaanmu, dengan hartamu, dengan hidupmu? Jika jawabannya hanyalah atraksi dan pamer, maka kehinaan itu abadi.
Kredit gambar: Inilah.com

Lahir di Sorowako, 1 Februari 1969. Menempuh studi pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar, 1996-1997. Saat ini ia berkecimpung dalam dunia usaha, sebagai Direktur Utama PT. Pontada Indonesia. Telah mengarang buku puisi berjudul, Ziarah Cinta (2015).


Leave a Reply