Desa, Penghidupan, dan Perubahan Iklim: Delapan Kisah, Satu Pertanyaan

Pernah datang sebuah masa, ladang dan sawah adalah segalanya. Bagi kami orang desa, di sanalah harapan tumbuh, warisan diteruskan, hasrat hidup dalam kebersahajaan terus dipelihara.

Kini, orang-orang meninggalkan desa dengan dalih kesejahteraan dan pendidikan. Ironisnya, kata Puthut EA dalam Corona, Desa, dan Negara, dalam proses pembangunan di negeri ini, desa terus menerus diperas oleh negara. Daya dukung alamnya dirusak, orang-orang terbaiknya digiring menggerakkan roda ekonomi kota lewat proses sekolah. Setelahnya, stigma dilekatkan, desa itu kotor, miskin, dan tertinggal.

Akhirnya, data membikin mata memerah, hanya dalam kurun waktu 25 tahun, jumlah penduduk desa di seluruh negeri telah menyusut hingga 10%, dari 54,1% (1995) menjadi 51,2% (2010), lalu 47,7% (2015), kini tersisa 44,3% (2020). BPS bahkan memperkirakan 15 tahun ke depan, 2035 nanti, hanya akan tersisa sepertiga saja (33,4%) penduduk Indonesia yang bermukim di desa.

Semua data ini makin relevan, setelah seorang kawan memberi buku antologi Desa, Penghidupan, dan Perubahan Iklim, bacaan ini menyuguhkan potret jujur tentang desa hari ini, dalam bayang-bayang perubahan iklim, ketimpangan kebijakan, dan hasrat yang terus-menerus bertabrakan antara bertahan di desa atau berpindah ke kota. Ternyata, problem desa adalah masalah nasional. Bukan hanya di desa saya, tapi juga desa di kabupaten tetangga.

Buku ini memuat 8 karya tulis ilmiah populer. Ditulis dwi bahasa, Indonesia-Inggris. Dieditori oleh Agus Mawan dan Mulyani Hasan. Seluruhnya berkisah tentang bagaimana masyarakat Kajang, Kabupaten Bulukumba, menyiasati dampak perubahan iklim, meluasnya kerusakan ekologi, juga bencana alam yang makin memperburuk kualitas hidup masyarakat Kajang.

Setiap paginanya tidak menyuguhkan teori besar. Sebaliknya, hanya ada secuil cerita dari orang-orang kecil, yang membentuk mozaik lukisan masa depan desa yang suram. Tiap esai seakan melahirkan satu pertanyaan besar, yang makin sukar dicari jawabannya: masihkah desa menjanjikan masa depan?

Alam yang Tak Lagi Bersahabat

Tulisan pertama dibuka oleh Musliadi, ia mengajak kita melihat betapa rapuhnya hubungan manusia dan alam, kala hutan menyusut dan babi hutan menjadi musuh yang harus dihadapi saban malam.

Jelas babi itu bergerak, mengacak-acak ladang, bukan karena mereka buas, tapi karena lapar. Tulisan ini menyimpan pesan yang dalam, bahwa alam tak lagi setara. Ketika hutan menyusut atas nama pembangunan, dan satwa kehilangan rumah, maka ladang akan menjadi ruang saling berebut hidup.

Hewan dan manusia sama-sama tak suka lapar. Di sini, hukum rimba adalah tuan. Siapa yang kuat, dialah yang makan.

Bertahan dari Anomali Cuaca

Bagian kedua datang dari Abdul Salman, membincang perihal bagaimana perubahan iklim telah mengacak peta tanam. Hari ini, musim tidak lagi menentu, panas dan hujan tak lagi bisa diprediksi. Sedang hama makin ganas, kebal dari segala jenis pestisida.

Kala kekeringan melanda, krisis pangan terjadi. “Ada yang meminjam beras dekat rumahnya. Kalau mau dibayar dan tidak mampu, tanah sebagai gantinya,” kata Hammadin, salah seorang warga. Raut wajahnya berat sekali, tanah tetangganya lepas satu persatu.

Semua ini mengubah cara orang menanam. Beralih dari komoditas pangan utama, ke komoditas lain yang lebih adaptif—dan menjual.

Kesulitan inilah barangkali yang membikin cara pandang orang desa dan kota berbeda terhadap makanan. Ketika lidahnya puas dan rasa penasarannya hilang, sebagian orang kota mungkin akan membuang makanan tanpa rasa bersalah. Sedikit pun. Tapi bagi orang desa, makanan adalah hasil dari kerja keras melawan ketidakpastian. Itulah mengapa nasi di desa sering menangis saat tidak dihabiskan, kata orangtua.

Orang kota mana tahu, betapa susahnya menghadirkan sebutir nasi dan seonggok ayam ke piring mereka. Keberjarakan antara konsumen dan tempat produksi pangan ini, tak pelak menciptakan kurangnya penghargaan terhadap makanan.

Uang mungkin bisa membeli beras, tapi tidak dengan “perasaaan” para petani. Di sanalah penghargaan terhadap makanan mesti ditumbuhkan. Setinggi-tingginya.

Merekayasa Kelamin Pala

Selanjutnya berkisah tentang kebun pala di kaki bukit, tempat di mana para petani pala mengeluh, bukan karena hama atau cuaca, melainkan oleh sesuatu yang terdengar sedikit janggal: “kelamin” palanya berubah. Pohon yang dikira betina, malah berubah jadi jantan setelah dewasa, sehingga berbuah tidak banyak.

Masalah ini membuat banyak petani pasrah, membiarkan pohon tumbuh apa adanya. Hingga suatu hari, difasilitasi oleh pemerintah desa, datanglah organisasi pemberdayaan masyarakat, membawa kabar bahwa “kelamin” pala bisa direkayasa lewat metode sambung pucuk.

Di kantor dan di ladang, para petani berjejer, penyuluh menjelaskan metodenya, mengubah skeptisme menjadi optimisme. Berbulan setelahnya, pohon-pohon pala mulai berbuah. Yang mandul kini berbuah. Banyak pula. Mereka bisa menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana.

Tulisan dari Muhammad Harisah, membuat kita percaya pada kekuatan relasi yang saling menguatkan. Petani sebagai pelaku langsung, organisasi pemberdayaan sebagai pembagi pengetahuan, dan pemerintah desa sebagai penggerak sumber daya. Masalah yang hampir membuat putus asa, akhirnya terurai lewat gotong royong dan keberanian mencoba.

Memang selayaknya begitulah pemerintah desa bekerja, tiap kebijakan harus mampu menjawab problema di desa. Ingat Pakde, tidak semua masalah, solusinya adalah semen dan pasir.

Buruh, Passolo, dan Garis Kemiskinan yang Diturunkan

Kisah selanjutnya berjudul “Bukan Milik Kita” dari Saenal, menyentuh kehidupan buruh tani bernama Agus dan Mahmuddin, hanya punya sepetak tanah yang ditumbuhi kelapa. Dan tentu saja tidak cukup.

Keduanya adalah potret buruh tani yang hidup dari sawah orang lain, dari upah harian, dan kadang dari kerja-kerja tambahan, yang tak berhubungan dengan pertanian sama sekali. Mahmuddin bahkan pernah menjelajah Kalimantan hingga Papua, agar periuk nasi keluarganya bisa tetap terisi. Tapi semua sama saja, tidak cukup. Ia memutuskan pulang.

Sekarang, hari-hari Mahmuddin hanya tentang kerja di sawah dan kebun yang bukan miliknya, satu-satunya yang dipunyai hanyalah tubuh yang menua dan harapan setinggi langit—tak tergapai.

Pagi sekali, ketika anak sekolah belum berangkat, ia sudah berada di kebun, memanen berkilo-kilo getah karet, lalu bergeser ke sawah mengayun cangkulnya, berpuluh, beratus, bahkan beribu kali.  Ia baru pulang makan dan beristirahat, setelah matahari tegak di atas kepalanya.  Dua jam setelahnya,  ia kembali ke sawah dan pulang ketika langit perlahan menjingga.

Semuanya dilakukan demi pendidikan, kesehatan, termasuk membalas passolo (sumbangan) kepada kerabat, sebuah bentuk solidaritas sosial yang tidak bisa ditunda walau beras di rumah tinggal beberapa liter. Walau tanah warisan harus digadai. Dan ternyata… masih tidak cukup.

Kisah ini seakan menjawab kebijakan negara, yang dengan entengnya menurunkan batas garis kemiskinan. Makin banyak yang di atas kertas tampak sejahtera, padahal tetap hidup dari utang dan belas kasih kerabat.

Adalah benar, bahwa ketika negara gagal menurunkan angka kemiskinan, maka turunkan saja batas garis kemiskinannya, maka statistik orang miskin akan berkurang drastis, meski di lapangan justru sebaliknya. Mereka lupa, fakir miskin dipelihara negara. Itu bunyi konstitusi, bukan kata saya.

Pakkampas: Yang Membawa Anak Muda Pergi

Selanjutnya Nurdin, bercerita tentang pakkampas, mereka yang bekerja mengantar barang dagangan antarkota dan antarprovinsi. Pekerjaan yang membawa anak muda pergi. Meninggalkan desa, mengabaikan tanahnya.

Bagi anak-anak muda desa, pekerjaan ini terlihat lebih “cerah” dibanding mencangkul. Kulit mereka tidak perlu legam terbakar matahari, kuku tidak rusak karena tanah, dan uangnya lebih pasti—dan banyak. Ladang memang bisa diwariskan, tapi tidak bisa diandalkan. Banyak yang menjual ladang, lalu menukarnya dengan mobil.

“Waktu itu saya jual kebunku 65 juta,” jelas Maring. “Kupakai beli mobilnya sepupu 35 juta. Sisanya untuk modal beli barang grosir di Makassar.”

Ironis memang, para pemuda yang memiliki tanah justru meninggalkannya demi pekerjaan yang lebih “bersih”. Negara gagal mengurusi regenerasi petani. Ladang akhirnya hanya tinggal sebagai kenangan dan kebanggaan simbolik keluarga. Saat itu terjadi, semua telunjuk harus diarahkan pada negara!

Harapan Palsu Bernama Sawit

Satu bagian dari Ansar, mengisahkan petani yang mulanya berbondong-bondong menanam sawit, hingga kecewa pada akhirnya, karena harga tidak stabil dan isu pembangunan pabrik pengolah sawit hanyalah janji kosong.

Mereka sempat percaya, menanam sawit adalah jalan menuju kesejahteraan, tapi dikhianati. Pohon-pohon sawit akhirnya ditelantarkan, tidak diurus, lalu dibakar diam-diam, diganti dengan tanaman lain yang lebih “menghasilkan”.

Modernisasi di desa kerap datang seperti mimpi indah, dan namanya mimpi, ia hanya indah di kepala, bukan di dunia nyata.

Antara Adat dan Listrik

Dilema hukum adat, yang ditulis oleh Abdurrahman Abdullah menjadi tema besar di bagian tentang masyarakat Kajang. Ada yang kukuh menjaga prinsip kamase-mase (hidup sederhana), menolak semua bentuk modernisasi. Tapi ada pula yang merasa listrik dan penampungan air adalah kebutuhan mendesak. Masyarakat Kajang terbelah.

Pertarungan antara keyakinan dan kebutuhan ini tidak selesai dalam debat adat, akhirnya diputuskan bahwa yang memilih listrik dan penampungan air harus keluar dari wilayah adat. Desa Mallelang dan Bonto Baji akhirnya lepas. Wilayah adat Kajang Dalam makin menyusut, membuat risau para pemimpin lembaga adat. “Bersamaan dengan itu, pedoman kehidupan adat akan ditanggalkan, yang salah satunya mengatur tentang pelestarian lingkungan,” tulis Abdullah.

Dalam tradisi Kajang Dalam, kamase-mase adalah prinsip utama dalam laku hidup. Hidup dalam kerendahan hati, kepuasan diri, kemandirian, dan kecukupan, tidak berharap lebih dari apa yang dimiliki.

Namun kini, alam seolah berubah terlalu cepat, dan bagi sebagian orang, kesederhanaan tak cukup lagi menjamin keberlangsungan hidup.

Kota sebagai Pelarian Terakhir

Di bagian terakhir, Agus Mawan bercerita ihwal warga Kajang yang merantau ke Makassar dan tinggal di sekitar penampungan sampah Antang.

Bermula di tahun 90-an, kini sudah ada ribuan warga Kajang di sana. Pemkot Makassar pun menamai pemukiman itu dengan nama Kampung Kajang. Warganya ada yang jadi sopir truk sampah, awak armada, bahkan memulung. Setidak-tidaknya, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Hidup di kota, meski di pinggiran, rawan banjir, walau menghirup bau sampah tiap hari, dianggap lebih menjanjikan dibanding bertaruh dengan cuaca yang diurus Tuhan dan harga pertanian yang tak becus diurus negara.

“Sekarang kehidupan saya sudah nyaman,” kata Pandang, salah satu warga di sana. “Saya tidak perlu lagi pergi merantau. Anak-anak saya sudah saya sekolahkan. Saya sudah nyaman di sini.”

Dalam keyakinan mereka, sekolah dan kota adalah tiket naik kelas, dan desa sudah tak sanggup lagi membiayai tiket itu. Terlalu mahal.

***

Delapan kisah dalam satu buku ini, setidak bisa memberikan kita peringatan, bahwa desa yang selama ini menjadi benteng sosial-ekonomi, sepertinya mengalami stagnansi, bahkan degradasi akibat apatisme negara.

Pandemi COVID-19 lalu sudah membuktikan, bahwa desa adalah penyangga vital perekonomian nasional: ketika sektor industri, pariwisata, dan jasa terpuruk, sektor pertanian tetap tumbuh positif. Kemiskinan di desa bahkan menurun tipis, saat di kota naik signifikan. Orang-orang kota yang hilang arah, kembali ke pelukan desa, mereka diterima laiknya ibu yang memanggil anaknya.

Namun, di tengah derasnya arus urbanisasi, perubahan iklim, dan ketakacuhan negara, kita patut was-was, masihkah desa memiliki masa depan?


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *